19 Desember 2007

STRATEGI HIDUP

Apakah anda orang yang sangat sibuk hingga tak punya waktu untuk untuk bersenang-senang sehingga anda merasa hidup anda tidak menyenangkan? Kalau jawaban anda iya, maka mungkin anda perlu belajar dari bu Wina. Ia adalah orang yang sangat sibuk sebagai seorang ibu rumah tangga, yang memiliki begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan namun masih bisa menjalani hidup dengan tersenyum. Apa resepnya hingga ia bisa selalu menjalani hidup tanpa beban? Tulisan ini akan mengulas secara tuntas cara mereka menjalani hidup dengan mobilitas tinggi tanpa ada ketegangan di dalam otak mereka dan karenanya mereka bisa selalu tersenyum dalam keadaan yang bagaimanapun.

Sebagai seorang ibu rumah tangga yang harus merawat tiga orang putranya, Bu Wina hanya memiliki sedikit waktu untuk memenuhi hasrat pribadinya. Sehari-hari yang ia kerjakan adalah mengurusi segala keperluan anak-anak serta suaminya. Di pagi hari, sebelum anggota keluarga lain membuka mata, ia telah bangun terlebih dahulu untuk menyiapkan sarapan. Sebelum subuh dia harus sudah mulai masak jika tidak ingin anak-anak dan suaminya kelaparan di sekolah dan di tempat kerja. Selain itu, ia juga harus mencuci pakaian kotor yang tentu saja bukan hanya pakaiannya sendiri. Sebagian besar pakaian yang ia cuci tiap pagi adalah pakaian anak-anaknya. Maklum, dengan tiga orang putra yang semuanya masih tergolong anak-anak, pakaian kotor terasa tak pernah habis meskipun telah dicuci tiap hari. Apalagi ditambah pakaian suaminya yang tiap hari setidaknya harus mengenakan tiga set pakaian yang berbeda. Pagi hari, suaminya harus mengenakan pakaian formal untuk bekerja. Sepulang kerja ia harus mengenakan pakaian santai. Selain itu, untuk pakaian ibadah sehari-sehari juga set yang berbeda. Belum lagi ditambah pakaian yang ia kenakan sendiri. Meskipun hanya sebagai ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar, tetap saja ia harus mengenakan beragam pakaian dalam satu hari. Untuk berbelanja pakaian yang dikenakan berbeda dengan pakaian untuk bekerja di rumah. Sehingga dalam satu hari ada begitu banyak pakaian yang harus ia cuci. Dan sekali lagi, pekerjaan ini seolah tidak ada habis-habisnya.

Setelah semua anggota kelurga keluar rumah, suami bekerja sedangkan anak-anak berangkat sekolah, Bu Wina masih harus menghadapi pekerjaan lain. Ia masih harus mencuci piring yang tadi digunakan untuk sarapan serta perkakas dapur yang tadi digunakan untuk masak. Sebagaimana mencuci baju, pekerjaan ini pun jelas tiada akhirnya. Tiap hari pasti ada piring, gelas, dan perkakas dapur yang kotor. Tentu saja, karena tiap hari mereka harus makan. Tidak hanya itu, mereka dalam satu hari harus makan tiga kali. Ini berarti bahwa dalam satu hari bu Wina harus mencuci piring sebanyak tiga kali. Memang, dia bisa saja memilih untuk mencuci piring kotor sekali dalam sehari. Akan tetapi itu sama artinya dengan menumpuk pekerjaan yang tentunya akan lebih memberatkan.

Tidak hanya itu saja yang harus dikerjakan oleh bu Wina setelah semua orang pergi. Ia juga harus membersihkan rumah. Menyapu, mengepel lantai, dan merapikan daun-daun di pekarangan adalah tugas berikutnya yang harus dikerjakan oleh bu Wina setiap hari.

Praktis, dengan setumpuk tugas yang harus diselesaikan, bu Wina hanya memiliki sedikit waktu untuk bersenang-senang. Dan di antara hal yang bisa membuatnya merasa terlepas dari semua beban adalah menonton TV. Tentu saja masih ada jenis hiburan lain yang bisa membuat Bu Wina melepaskan penat pikiran, seperti berkunjung ke rumah tetangga, berbelanja, dan membaca majalah wanita. Semua itu sanggup membuat ibu yang senantiasa bekerja ini merasa bahwa hidupnya adalah sebuah anugrah. Mungkin anda bertanya bagaimana bisa hanya dengan hiburan semacam itu bu Wina bisa merasa bahagia. Padahal banyak orang yang hiburannya bahkan sampai keluar negeri, akan tetapi hidupnya tetap seperti orang yang tenggelam di dalam air, megap-megap, atau tak pernah merasa bahagia. Memang benar bukan jenis hiburannya yang membuat bu Wina selalu merasa bahagia melainkan jiwa dan pikirannya. Meskipun senantiasa dikerubuti oleh tugas yang terasa membatasinya dalam mendapatkan hiburan, bu Wina tidak pernah meratapi apa yang dikerjakannya. Pada saat mencuci piring, memasak, dan membersihkan rumah, dia tidak pernah sekali pun mengandai-andaikan pekerjaannya tidak ada dan bisa memiliki banyak waktu luang untuk pergi ke tempat wisata bersama keluarga. Justru sebaliknya, dia begitu menikmati pekerjaannya itu dan menganggap apa yang dia lakukan adalah sebuah hiburan. Sekali-kali dia juga membayangkan keadaan orang yang memiliki begitu banyak waktu luang dan mempergunakan waktu yang dimiliki itu dengan kegiatan yang tiada artinya yang justru akan menambah penat pikiran. Karena itulah, meskipun seolah-olah tidak memiliki waktu untuk mengejar kebutuhannya sendiri, bu Wina selalu kelihatan bahagia. Ya, itu semua karena dia selalu mensyukuri keadaan.


15 Desember 2007

Menikmati Malam

Jaman telah berubah. Tidak seperti dahulu, kini serasa tidak ada beda antara malam dengan siang. Malam yang dulu diidentifikasi oleh suasana sepi kini sudah tidak sama lagi. Keramaian justru saat ini semakin banyak didapati ketika malam telah menjelang. Sampai pagi datang pusat-pusat hiburan malam sekarang buka dan memberikan berbagai macam suguhan yang memuaskan nafsu manusia. Ironisnya, sebagian tempat hiburan malam itu menjadi ramai karena menjadi tempat untuk melampiaskan nafsu para hedonis yang kebanyakan terkait dengan dunia seks dan obat-obatan terlarang serta minuman keras yang memabukkan.

Tentu hal seperti ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan keadaan sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Pada saat itu ketika malam telah datang hanya kesepian saja yang menyelimuti. Baru ketika pagi menjelang kegiatan manusia dimulai. Siang menjadi waktu yang paling dinanti karena pada waktu itulah manusia mencari nafkah dan mencari hiburan. Kini setelah sekian lama jaman berlalu, kebanyakan orang justru tidak senang ketika pagi datang karena dengan datangnya pagi berarti berakhirlah waktu mereka untuk bersenang-senang.

Akan tetapi, apakah para penikmat suasana malam hanya penganut hedonisme saja? Tentu saja jika kita menjawab pertanyaan itu setelah kita mengunjungi tempat-tempat hiburan malam maka kita akan mengiyakannya. Karena di tempat-tempat hiburan malam tersebut kita tentu hanya akan mendapati bahwa para pengunjungnya adalah mereka yang haus akan hiburan dan tidak bisa hidup tanpa itu semua. Para pengunjung tempat-tempat hiburan malam itu, meskipun tidak semuanya, kebanyakan adalah mereka yang menganut free seks dan hidup foya-foya. Sehingga, di tempat-tempat hiburan malam itu kita hanya akan melihat mereka yang sedang melampiaskan nafsu hewani mereka untuk menenggak minuman keras dan menggauli para wanita yang menjajakan diri. Maka, tidak salah jika kemudian kita menjawab bahwa orang-orang yang menikmati malam adalah mereka yang menganut hedonisme.

Namun, jika kita menjawab itu dengan membaca riwayat para sufi jaman islam awal maupun jaman islam pertengahan, mungkin jawaban kita akan sedikit berbeda. Sebagaimana tertulis di dalam riwayat para sufi seperti Robiah Al Adawiyah, Abu Yazid Al Bustami, Hasan Al Basri, dan lain sebagainya, malam adalah waktu yang paling dinantikan oleh mereka. Robiah misalnya, beliau selalu menghabiskan malamnya untuk bersujud menyembah sang Khalik yang olehnya disebut sang Kekasih. Jika satu malam saja terlewati tanpa menemui kekasihnya maka diapun akan sangat menyesal. Hal serupa juga dilakukan oleh para sufi lainnya. Mereka selalu menunggu dan menikmati waktu malam. Dengan membaca riwayat para sufi ini tentu jawaban kita atas pertanyaan di atas akan berbeda. Sebab, saat ini pun tentu masih ada manusia yang menikmati dan menghabiskan waktu malam untuk senantiasa menyembah sang Khalik, hal yang berseberangan dengan apa yang dilakukan oleh para penganut hedonisme di atas.

Sehingga, bisa disimpulkan di sini bahwa saat ini waktu malam menjadi sebuah pilihan: apakah akan dihabiskan untuk mencari hiburan dengan cara melampiaskan nafsu kebinatangan kita ataukah dengan mendekatkan diri kepadaNya. Keduanya sama-sama akan membuat kecanduan. Bedanya, yang pertama akan mengantarkan kita pada penyesalan sedangkan yang kedua akan membawa kita pada kebahagiaan. Terserah anda mau pilih yang mana karena anda sendirilah yang akan menanggung akibat dari pilihan anda tersebut.

12 Desember 2007

Kita Mampu, Ngapaian Bergantung Pada Orang Lain?

Berharap agar orang lain membuka jalan bagi kita adalah perbuatan yang sia-sia dan juga akan menimbulkan luka. Saat anda berharap mendapat sesuatu atau menjadi sesuatu, misalnya ingin menjadi seorang pesinetron, dan anda menggantungkan harapan itu pada seseorang yang anda kenal (apalagi orang yang tidak anda kenal), maka anda harus siap-siap untuk kecewa. Hanya sedikit dari orang seperti anda yang akan sampai pada tujuan semula. Kebanyakan dari orang semacam anda akan menerima kenyataan bahwa waktu anda terbuang dengan sia-sia.

Bagaimanapun dan dalam keadaan seperti apapun, yang paling peduli dengan anda adalah anda sendiri. Salah besar ketika anda berpikir bahwa orang lain lebih mementingkan diri anda dari pada kepentingannya sendiri. Meskipun kadang ada orang yang mau peduli pada keadaan anda, tidak berarti bahwa orang itu akan hanya mempedulikan anda dan tidak mempedulikan kepentingannya sendiri. Yang benar adalah sebaik apapun orang lain, ia hanya akan bisa membantu anda sebisanya. Dan, harus anda tahu, biasanya kemampuannya membantu kita masih jauh dari apa yang kita inginkan.

Dalam hal keinginan untuk menjadi pesinetron di atas, orang lain (sebaik apapun ia) hanya akan bisa membantu kita manakala ia punya waktu, tenaga, biaya, dan jaringan. Jika salah satu dari keempat hal tersebut tidak dimiliki, maka tentu ia akan kesulitan membantu kita. Dan, tidak boleh anda lupa, bahwa orang lain juga memiliki kepentingannya sendiri. Bagaimana mungkin orang lain akan membantu mempromosikan anda menjadi pesinetron jika ia sendiri sedang dililit masalah hutang. Apakah dalam keadaan seperti itu anda akan memaksanya untuk mempromosikan anda dan mengabaikan kepentingannya sendiri. Rasanya, meskipun anda paksa ia tetap akan mendahulukan kepentingannya sendiri. Baru setelah itu, MUNGKIN ia akan membantu mencari jalan bagi anda untuk menjadi pesinetron. Tentunya, jika anda telah mengandalkannya dan mempercayakan kepadanya cita-cita anda, anda pasti akan kecewa berat saat menemui keadaan seperti ini.

Nah, kekecewaan seperti ini akan terus menerus anda telan jika anda masih mengharapkan orang lain menjadi pembuka jalan bagi cita-cita anda. Karena itu, agar anda tidak menelan kekecewaan karena harapan yang terlalu tinggi pada orang lain, maka sebaiknya mulai sekarang jangan menyerahkan nasib anda pada orang lain. Kejarlah cita-cita anda dengan usaha sendiri. Ketika anda merasa menemukan orang yang bisa membantu, jangan seratus persen anda serahkan segalanya pada orang itu. Biarkan dia membantu, akan tetapi tetap anda yang paling agresif mengejar keinginan tersebut, bukannya berhenti karena anda merasa sudah ada orang lain yang bisa dipercaya.

Tapi, ada kabar baik bagi anda yang terbiasa menyerahkan nasib pada orang lain yang memang mau membantu. Perbuatan anda ini masih lebih baik. Lho kok? Iya, perbuatan semacam itu masih lebih baik dibanding menggantungkan diri pada orang yang tidak anda kenal dan tidak menyatakan kesediaannya untuk membantu anda. Apakah ada orang semacam ini? Banyak. Saat ini ada begitu banyak orang yang menggantungkan harapan pada orang lain padahal orang itu tidak ia kenal dan menyatakan kesediaan untuk mewujudkan harapan.

07 Desember 2007

Saya dan Anda Sempurna

Saya termasuk orang yang beruntung. Ketika dilahirkan ke dunia ini, seluruh anggota tubuh saya lengkap. Tidak ada satu pun yang dikurangi. Tangan ada dua. Kaki dua. Mata dua. Telinga dua. Juga tidak ada yang ditambahi. Hidung saya satu. Mulut satu. Kepala juga satu.

Nah, ditambah dengan akal yang sehat maka sudah seharusnya kalau saya (dan anda) senantiasa memanjatkan syukur.

Tentu saja seharusnya bersyukur bukan merupakan hal yang sulit saya lakukan mengingat kesempurnaan yang diberikan kepada saya. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Memanjatkan syukur dengan kesungguhan ternyata memerlukan ilmu yang tidak sedikit. Di sini, yang saya maksud bersyukur dengan kesungguhan adalah meyakini sepenuh hati, tidak hanya di mulut, bahwa apapun yang saat ini menimpa kita, yang kita hadapi, adalah yang terbaik.

Lalu, kenapa bersyukur sulit dilakukan? Belajar dari pengalaman hidup saya sejauh ini, hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa kita semua selalu mengharapkan sesuatu yang lebih baik dari yang saat ini kita miliki. Kalau kita tidak punya sepeda motor, misalnya, kita pasti berharap untuk memiliki sepeda motor. Jika kita telah punya sepeda motor, kita pasti menginginkan mobil. Dan kalau kita sudah punya mobil, kita pasti menginginkan yang lebih baik dari mobil yang saat ini kita miliki.

Tanpa kita sadari, keinginan semacam itulah yang menyulitkan kita untuk bersyukur. Padahal, tanpa adanya rasa syukur kita tidak akan bisa merasakan kebahagiaan. Itu pasti. Setampan apapun saya, sekaya apapun saya, seterkenal apapun saya, jika saya tidak bisa bersyukur maka sampai kapanpun saya tidak akan bisa menikmati kebahagiaan. Mungkin saya merasa senang saat keinginan saya terpenuhi, akan tetapi rasa senang semacam itu tentu tidak akan bisa bertahan lama, karena saat ada keinginan yang baru saya pasti akan kembali merasa sengsara.

Nah, untuk itulah saya selalu mencoba menerima keadaan apapun baik itu terasa membebani atau terasa menyiksa sekalipun. Meskipun berat, saya tetap melakukannya. Dan tentu saja, dengan senantiasa mengingat betapa SEMPURNA keadaan saya dan dengan mencoba menahan keinginan-keinginan, bersyukur tidak terlalu sulit bagi saya.

Mungkin akan beda ceritanya jika keadaan saya tidak sesempurna saat ini. Mungkin kalau kaki saya hanya satu, atau lubang hidung saya tertutup semua, saya tidak akan bisa bersyukur. Akan tetapi saya berharap agar anda yang keadaannya tidak sesempurna saya, anda tetap bisa bersyukur. Saya bisa bersyukur karena saya berusaha menahan keinginan, selalu melihat kesempurnaan saya, dan membandingkan diri saya dengan anda. Nah, anda harus terus mencari cara untuk bisa bersyukur agar hidup anda terasa menyenangkan.

Saya bisa menduga betapa sulitnya hidup dengan kaki satu. Tentu kesulitan hidup yang anda hadapi dengan hanya kaki satu akan terasa semakin menyiksa kalau anda tidak bisa menerima keadaan tersebut dan mensyukurinya. Akan tetapi, karena bagaimanapun saya bukan anda, maka saya tidak bisa memberi tahu anda bagaimana agar anda bisa bersyukur. Anda sendirilah yang harus mencari caranya.

05 Desember 2007

Rumput tetangga tidak lebih hijau

Hari ini saya merasa amat lelah dengan rutinitas. Sebenarnya, bukan sekali ini saja saya merasakan kelelahan, kejenuhan, dan mungkin kekesalan terhadap aktifitas rutin sehari-hari yang saya jalani. Perasaan seperti ini sudah sangat sering mengganggu kekhusukan saya menjalani waktu dan merenggut keceriaan saya untuk menikmati masa.

Dalam hati sering saya bertanya apakah hanya saya seorang yang mengalami hal seperti ini, bosan dengan kegiatan di depan mata dan menginginkan kegiatan lain yang sepertinya lebih menyenangkan. Ataukah orang lain juga merasakan hal serupa. Ah, dalam hal ini saya sudah melakukan kesalahan, yakni bertanya dalam hati. Kenapa saya bilang saya salah? Ya, karena ketika saya bertanya dalam hati tidak ada jawaban pasti yang saya dapatkan selain jawaban menerka. Sehingga apa yang saya lakukan selama ini, bertanya-tanya dalam hati, adalah sebuah kesia-siaan. Lho kok? Iya, sebab jawaban dari pertanyaan saya ini begitu mudahnya muncul setelah saya bertanya pada rekan-rekan saya. Andai sedari muncul di kepala pertanyaan ini langsung saya lontarkan pada orang lain, tidak saya tanyakan dalam hati sendiri, tentu saya telah mendapatkan jawabannya sedari dulu dan saya tidak menyia-nyiakan waktu untuk berpikir sendiri dengan hasil yang tidak pasti.

Lho kok jadi ngelantur. Oh ya, kenyataan menunjukkan bahwa perasaan bosan dan jenuh dengan keadaan diri, terutama dengan rutinitas sehari-hari juga dialami oleh orang lain. Thank God, saya masih normal seperti orang lain. Dan seperti yang saya alami, orang lain juga berpikir bahwa keadaan atau rutinitas orang lain masih lebih baik dan lebih menyenangkan dari keadaan atau rutinitas kita. Di sini pepatah "Rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau" terbukti.

Tapi, apakah benar rumput tetangga lebih hijau dari punya kita? Apakah benar keadaan dan rutinitas orang lain lebih menyenangkan dari keadaan dan rutinitas kita?

Kalau jawaban dari pertanyaan di atas iya, maka solusi untuk mengatasi masalah kejenuhan kita pada keadaan dan rutinitas akan jauh lebih mudah. Cukup lakukan saja aktifitas orang lain dan cobalah untuk hidup dalam keadaan seperti keadaan orang tersebut. Selesai! Bukankah menjalani rutinitas orang lain dan hidup dalam keadaan orang lain yang kita anggap lebih menyenangkan akan membuat hidup kita juga menyenangkan?

Masalahnya, belum tentu rumput tetangga benar-benar lebih hijau dari rumput di halaman kita. Bisa jadi hanya karena kita melihat rumput kita dengan cara menginjaknya dan mengamati rumput tetangga dari kejauhan sehingga pengamatan kita salah. Bukankah gunung-gunung terlihat begitu asri dari kejauhan? Bukankah bulan terlihat amat eksotis dari bumi? Tapi, apa yang terjadi saat kita mendaki gunung, warna hijau asri yang tampak dari jauh hilang entah kemana. Begitu pula, ketika Neil Amstrong menginjak bulan untuk pertama kali, terkuaklah fakta bahwa permukaan bulan tidak seindah yang selama ini dibayangkan orang. Begitu pula yang terjadi dengan rumput di halaman tetangga. Karena kita melihatnya dari jauh maka warna hijaunya terlihat begitu memikat. Seolah tidak terlihat kekurangan sedikitpun. Sedangkan rumput di halaman kita, karena kita melihat dengan menginjak di atasnya, kita tahu seluk beluknya, maka rumput kita terlihat begitu buruk rupa, sama sekali tidak indah.

Begitupun dengan rutinitas dan keadaan kita. Sebenarnya hanya karena kita tidak tahu sisi buruk dari keadaan orang lain sajalah sehingga kita merasa keadaan tersebut lebih menyenangkan. Sebaliknya, karena kita selalu fokus pada sisi buruk dari keadaan dan rutinitas kita sehingga hidup yang kita jalani terasa tidak menyenangkan. Jadi, tidak ada jaminan ketika kita menjalani rutinitas dan keadaan orang lain yang kita anggap menyenangkan maka kita tidak akan lagi merasa jenuh dan bosan, karena seperti yang telah saya katakan di atas semuanya hanya masalah sudut pandang. Ketika melihat keadaan diri sendiri kita menggunakan sudut pandang negatif, sementara saat mengamati kehidupan orang lain kita menggunakan sudut pandang positif.

Solusinya? Ya mari coba menggunakan cara pandang sebaliknya. Mari kita lihat keadaan kita pada sisi positifnya saja dan coba amati keadaan orang pada sisi negatifnya. Saya yakin jika kita bisa merubah cara pandang ini maka rumput tetangga tidak akan lagi terlihat lebih hijau. Sebaliknya rumput di halaman rumah kita lah yang selalu terlihat lebih hijau.

03 Desember 2007

Gagal Lagi Gagal Lagi

Pernahkah anda amat menginginkan sesuatu? Jawabannya sudah tentu, iya. Tapi apakah anda pernah mengalami kegagalan mendapatkan apa yang anda inginkan. Saya yakin jawabannya juga sama, iya. Pertanyaan berikutnya akan lebih sulit.

Apa yang anda lakukan saat tidak berhasil mencapai yang anda inginkan?
Nangis? Ngamuk? Pingsan? Atau stress dan tidak doyan makan?

Jika salah satu opsi di atas merupakan reaksi anda, maka anda tidak jauh berbeda dari saya. Sudah sering, bahkan terlalu sering saya tidak berhasil mendapat apa yang saya mau. Pingin punya pacar, eh ditolak. Setelah punya pacar dan ingin menikah, orang tua si dia sulit di tembus. Pingin kuliah ke luar negeri, berkali-kali dapat surat yang menyatakan saya gagal.
Apakah saya stress? Pasti. Tapi saya tidak berniat untuk mengamuk atau jadi tidak doyan makan. Malah, makan saya makin banyak. Kalau biasanya cuma habis satu piring sekali makan, saat pikiran tidak enak karena menerima kenyataan kegagalan, saya harus menambah porsi makan saya jadi dua piring.

Sempat juga sih terbersit untuk menyalahkan tuhan karena sepertinya dia tidak memberi kesempatan pada saya untuk mendapatkan yang saya mau. Tapi kata hati saya tidak bisa melakukannya. Saya tidak berani menyalahkan tuhan atas segala kesialan yang saya terima. Kenapa? Karena saya yakin seyakin-yakinnya bahwa yang saya dapatkan (meskipun masuk kategori kegagalan dan kesialan) tetap merupakan yang terbaik. Dan tentu saja tuhan sangat adil. Meski penuh luka dan air mata (kayak perang aja), saya berusaha untuk bangkit dengan melihat mereka yang nasibnya jauh lebih sial dari saya. Sulit memang. Siapa bilang mudah menerima keadaan tak menyenangkan. Meski tahu dan sadar bahwa keadaan kita masih jauh lebih baik dari keadaan orang lain, toh tidak dengan serta merta kita akan menerima dengan 'legowo' nasib buruk kita. Saya pun demikian. Tidak dengan serta merta saya menerima keadaan buruk yang menimpa saya. Tetap saya ingin marah dengan keadaan. Tapi lambat laun perasaan saya kembali normal dan kata hati mulai bisa mengendalikan tindakan.
Setelah hati kembali tenang dan pikiran sudah tidak lagi meluap-luap, barulah saya mulai bisa mencari hikmah di balik kegagalan yang saya alami.

Kenapa saya sial? Kenapa saya kurang beruntung? Kenapa dan kenapa?

Pertanyaan-pertanyaan ini mulai saya cari jawabannya. Dan ternyata saya tidak sial. Begitupun anda. Saat kita (anda dan saya) tidak berhasil mendapatkan yang kita mau, bukan berarti kita sedang sial. Bukan berarti kita sedang kurang beruntung. That's the best thing that should happen. Itu yang terbaik. Terbaik bagi siapa? Terbaik bagi kita dan terbaik bagi orang lain. Siapa sih yang tahu yang terbaik buat kita selain dia?

Mungkin anda masih ngeyel "itu kan jawaban orang yang kalah..." mungkin anda benar bahwa itu adalah kata-kata orang yang kalah. Tetapi anda harus ingat bahwa menang dan kalah memiliki definisi berbeda-beda. Bukan berarti kalau tim anda bisa memasukkan bola ke gawang lawan lebih banyak dari pada yang dilakukan tim lawan anda berarti anda menang. Tetap saja kalau anda melakukannya tidak dengan fair (dengan pura-pura jatuh di kota pinalti, misalnya) tim anda tetap tidak bisa dikatakan menang. Begitu pula dengan nasib sial yang kita alami. Meski secara kasat mata kita dikatakan gagal, kalau kita bisa menerima keadaan kita dan berusaha memperbaiki kualitas kita, maka kita tidak patut dikatakan sebagai orang yang gagal. Seharusnya, masyarakat kita berpendirian seperti ini dalam menyikapi 'kegagalan' sehingga tidak ada lagi kata 'gagal'. Tapi, kata apa yang layak untuk mengganti kata gagal yang sudah kadung sering digunakan oleh masyarakat kita. Ah, biar anda sendiri yang mencari

saya jadi ingat satu adegan dalam film "meet the robinsons". Di film ini diceritakan seorang anak jenius tidak berhasil memperbaiki suatu perangkat, dan apa yang dilakukan oleh keluarga si anak tersebut? Mereka bersorak "hidup gagal" "hidup kegagalan". Jika saja kita semua bisa bersikap demikian, saya yakin bangsa ini akan cepat menjadi bangsa maju....

Akhir kata "HIDUP KEGAGALAN"