25 Februari 2008

Diam tapi tak tinggal Diam

Saya sudah terbiasa bangun paling lambat dari anggota keluarga yang lain. Sejak kecil saya tidak bisa menang kalau harus lomba bangun pagi-pagi. Tidak hanya itu, saya juga tidak bisa kalau diminta tidur sore-sore. Kalau anggota keluarga yang lainnya beranjak ke buaian mimpi saat dentang jam menunjukkan pukul sembilan atau sepuluh malam, maka saya baru bisa memejamkan mata dan mengembara ke alam mimpi saat jam di rumah kami menunjukkan pukul dua atau tiga pagi. Jadi lagi-lagi saya kalah.

Dengan kebiasaan semacam itu, kalau saja ayah saya adalah orang lain tentu saya akan tiap pagi akan mendapat kata-kata tidak menyenangkan. Dan tentu saja kata-kata kurang enak itu juga akan saya dengar lagi saat waktunya berangkat ke peraduan. Kalau saja demikian anda tentu bisa membayangkan betapa tidak enaknya hidup saya. Mau tidur kena marah. Bangun tidurpun kena damprat.

Untungnya, ayah saya bukan orang tua semacam itu. Benar bahwa beliau tidak suka saya bangun kesiangan ataupun tidur larut pagi. Juga benar beliau tidak tinggal diam melihat kebiasaan saya yang satu ini. Akan tetapi, tidak tinggal diamnya ayah saya itu bukan berarti beliau melukai perasaan saya baik dengan kata-kata maupun dengan tindakan. Memang, beliau tidak tinggal diam. Akan tetapi beliau diam saja.

Maaf, mungkin anda menjadi bingung. Bagaimana mungkin diam saja dikatakan tidak tinggal diam? Atau mana mungkin tidak tinggal diam kok malah diam saja? Saya yakin itu yang saat ini berkecamuk di kepala anda. Tapi, tolong sabar sebentar. Ijinkan saya menjelaskan maksud saya. Oke? Boleh saya lanjutkan?

Begini, ayah saya memang tidak melakukan apa-apa dalam arti beliau tidak membentak saya ataupun menyeret saya dari tempat tidur. Beliau juga tidak mengungkit-ungkit kebiasaan buruk saya tersebut saat saya sudah bangun. Yang membuat saya sangat bersyukur, beliau juga tidak pernah memberitahukan kebiasaan buruk saya itu, bahwa saya senang bangun kesiangan, kepada orang lain lebih-lebih yang jenis kelaminnya perempuan dan usianya masih muda yang mungkin bisa menjadi menantunya. Yang terakhir inilah yang paling saya syukuri. Bayangkan kalau beliau mengumbar kejelekan saya yang satu ini pada tiap gadis yang beliau temui, tentu saya tidak akan lagi punya nyali untuk mendekati mereka.

Ya, beliau memang dalam hal tersebut diam saja. Akan tetapi, beliau sendiri selalu bangun sangat pagi. Jam tiga biasanya beliau sudah bangun untuk menunaikan sholat malam dan dilanjutkan dengan membaca Al Quran. Lebih dari itu, saat membaca Al Quran beliau sering melakukannya di dekat saya. Jadi, meski saya tidak ikut bangun, bacaan beliau sempat membuat saya membuka mata walau kemudian saya tutup kembali. Dan apakah ayah saya menarik-narik selimut saya? Tidak. Beliau bahkan sering menambah selimut saya sehingga saya semakin nyenyak tidur.

Saat subuh menjelang, anda mungkin sudah bisa menebak, ayah saya pergi ke masjid dan tidak jarang beliau yang mengumandangkan adzan. Lalu saya? Saya masih dibuai mimpi dan tidur nyenyak berselimut hangat.

Saat itulah biasanya kakak-kakak saya mulai bangun satu persatu. Sama seperti ayah, mereka juga tidak ada yang mengganggu tidur saya. Mungkin mereka berpikir kalau ayah tidak membangunkan kenapa mereka harus melakukannya.

Demikianlah, ayah saya diam dengan tidur saya yang bangunnya kesiangan. Tapi, saya yakin dalam doa tiap malam beliau selalu meminta kebaikan untuk saya. Dan tentu saja diamnya ayah saya serta doa beliau tiap malam bukannya tidak menghasilkan apa-apa. Dengan sendirinya kini saya telah sanggup untuk bangun malam dan menunaikan sholat tahajud. Dan asal anda tahu, saya terdorong untuk bangun malam dan menunaikan sholat tahajud bukan oleh kemarahan beliau melihat saya bangun kesiangan. Saya melakukan itu semua karena contoh nyata yang beliau tunjukkan pada saya. Saya mengikuti beliau bukan karena paksaan tapi karena kamauan saya sendiri.

Ah, seandainya semua orang tua lebih banyak memberi contoh dari pada ceramah…..

23 Februari 2008

Hadiah Menghadiahi

Tak terasa sudah dua bulan lebih saya tidak memposting tulisan di blog ini. Bukan, bukan karena bosan menulis sehingga blog ini tidak pernah saya update. Tidak bisa mengambil hikmah dari yang saya alami? Bukan. Saya masih tetap berusaha mencari pelajaran dari apapun yang menimpa diri saya ataupun yang terjadi pada orang lain. Semuanya hanya karena rasa-rasanya waktu saya habis untuk menyelesaikan pekerjaan rutin. Yach, meskipun mencari hikmah juga merupakan pekerjaan rutin, akan tetapi menuliskan hikmah yang saya pelajari apalagi untuk membaginya dengan anda bukan pekerjaan yang bisa saya lakukan sambil lalu. Kenapa? Karena saya menyebutnya hikmah. Kalau saya memberinya sebutan lain 'apa saja' misalnya, tentu saya bisa kapanpun membaginya dengan anda. Saya ingin saat membaca tulisan ini, anda bisa menganggukkan-anggukkan kepala sambil berucap "benar, saya rasa itulah pelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini".

Itulah alasan kenapa blog ini lama tidak diupdate. Ah, pede sekali saya menjelaskan itu semua. kok sepertinya tulisan saya sudah banyak ditunggu-tunggu pembaca. Padahal setahu saya yang paling rutin mengunjungi blog ini ya saya sendiri. Tapi tidak apa-apa lah. Biar saya tambah semangat.

Nah, tibalah giliran saya menceritakan hikmah atau pelajaran atau wisdom yang saya dapatkan. Hemm, hikmah apa ya… Aha, mungkin cerita berikut ini akan ada hikmah di dalamnya.

Ceritanya begini, beberapa waktu yang lalu saya membeli beberapa novel untuk yang akan saya jadikan oleh-oleh untuk keponakan saya. Saya memilih novel karena saya tahu keponakan saya itu suka membaca. Disbanding membaca buku pelajaran, dia lebih suka membaca cerita. Nah, biar sambil membaca cerita dia bisa memperoleh sesuatu maka saya berniat memberinya novel.

Karena keinginan untuk memberikan novel yang bisa memberikan hikmah itulah, saya harus menghabiskan waktu cukup lama untuk memilih. Memang, tidak semua novel yang sekarang ini dijual di toko-toko buku patut diberikan untuk dibaca remaja. Dan keponakan itu baru menginjak masa remaja. Maka, saya juga harus sangat berhati-hati.

Alhamdulillah, setelah mencari-cari beberapa lama, akhirnya novel yang saya inginkan ketemu. Tidak perlu saya sebutkan judul novelnya. Yang jelas novel itu mengajarkan norma yang baik.

Saat pulang saya berikan novel itu pada keponakan saya. Dia tampak sangat senang dengan pemberian saya. Dalam waktu satu minggu novel itu selesai dibacanya. Saya juga senang karena dia begitu bersemangat untuk menyelesaikan novel pemberian saya. Meskipun tidak saya tanyakan pelajaran apa yang bisa diambil dari novel itu, saya yakin keponakan saya bisa mendapatkan hikmah. Dan itu saja sudah membuat saya sangat bahagia.

Berikutnya, karena melihat semangat keponakan untuk membaca novelo-novel jenis itu, maka beberapa kali berikutnya saya memberinya novel-novel yang setema dan ditulis oleh pengarang yang sama. Di sinilah kemudian saya menemukan hal yang lebih membahagiakan lagi. Ayah saya, yang sudah cukup berumur ternyata iseng-iseng di saat senggang menggunakan waktunya untuk membaca novel-novel pemberian saya. Dan, coba tebak, beliau sangat menyukai cerita-cerita di dalamnya. Saking sukanya, meskipun sudah selesai dibaca ayah saya masih suka membuka-buka novel tersebut lagi. Tidak hanya itu, beliau juga dengan penuh semangat menceritakan kisah di dalam novel tersebut pada orang-orang yang berkunjung ke rumah kami.

Tentu saja, hal itu tidak saya sia-siakan. Tiap kali pulang kini saya berusaha menyempatkan diri mampir ke toko buku untuk membeli novel-novel yang menurut saya akan membuat ayah saya senang. Kini, tiap kali saya pulang membawa novel tidak hanya keponakan saya yang senang. Ayah saya juga sangat bahagia. Dan itu semua bisa saya lakukan hanya dengan membawa buku. Tidak sulit kan?

Terus, apa hikmah yang bisa diambil dari kejadian itu? Apa ya? Oh ya, hikmahnya adalah saya semakin ingin menjadi penulis cerita. Kebahagiaan ayah saya tiap kali beliau membaca novel semakin mengukuhkan keinginan saya untuk menjadi penulis. Tidak nyambung ya hikmah dengan kejadiannya? Mungkin. Tapi bagi saya itu sangat nyambung. Bukankah kita seharusnya bisa mengambil hikmah yang bagaimanapun dari peristiwa apapun? Bukankah di balik satu kejadian tidak hanya tersimpan satu pelajaran?