15 Oktober 2011

Ban Bocor

Kemarin, saya mengalami kejadian yang luar biasa. Sebetulnya bukan cuma kemarin saya mengalami hal semacam itu. Sudah sering saya mengalaminya. Hanya saja, lebih seringnya saya tidak sempat menuliskannya. Dan kini, karena saya sedang online, maka saya sempatkan diri untuk menuliskan kejadian yang luar biasa itu.

Begini ceritanya. Seperti biasa, ketika jam mengajar dan tanggung jawab lain di sekolah dirasa sudah selesai saya kerjakan, saya memutuskan untuk pulang. Tentu saja, masih seperti yang saya ceritakan di sini, saya masih naik sepeda motor. Sekedar mengingatkan, jarak yang harus saya tempuh sekitar 25 km. Matahari masih sangat menyengat sehingga aspal jalanpun terasa sangat panas (untung saya sudah membeli lagi sarung tangan baru sehingga punggung tangan saya tetap putih :D).

Di tengah perjalanan, tak ada kejadian yang tidak diharapkan. Tidak ada pengendara yang menyalip ugal-ugalan. Juga tidak ada orang yang menyeberang jalan sembarangan. Segalanya berjalan tertib dan teratur (andai tertib dan teratur telah menjadi sifat manusian Indonesia, pasti negeri ini sangat nyaman untuk ditinggali). Seperempat perjalanan, setengah perjalanan, tiga perempat perjalanan, hingga akhirnya tinggal beberapa meter lagi saya sampai di rumah. Tak ada kejadian yang tak diharapkan.

Nyanyian dalam kepala saya semakin keras mengingat sebentar lagi akan berjumpa dengan buah hati yang sekecut apapun tetap saya ciumi (ya iyalah namanya juga anak sendiri, masih bayi lagi :D), ketika tiba-tiba 'dor', ban belakang motor saya bocor. Sedikit oleng, saya memelankan laju sepeda motor. Lalu berhenti sejenak untuk memeriksa apakah benar ban motor saya yang bocor. Memang benar, ban belakang saya sudah tidak berdaya. Dia tak lagi segagah ketika berangkat pagi harinya. Kini dia tampak lesu, lemah, dan tak bergairah. Diajak bercandapun dia tak menanggapi. Duh, kasihan sekali...

Karena iba dengan keadaannya, saya memutuskan untuk tidak menunggangi sepeda motor lagi meskipun tinggal beberapa tarikan gas lagi saya akan sampai rumah. Tunggangan saya itu saya tuntun dengan mesra, meski sedikit terpaksa. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, dst... hingga akhirnya saya pun sampai di rumah bermandikan peluh, dan bertemankan pegal. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir manis saya :D. Tak ada keluhan, tak ada pula umpatan.

"Lho, bagian mana yang luar biasa, katanya kejadian luar biasa?" demikian mungkin Anda bertanya. Saya memang sengaja tidak menunjukkan bagian mana yang menurut saya luar biasa. Saya ingin Anda yang menebak.

10 Maret 2011

Menciptakan Kebahagiaan

Siapa sih di dunia ini yang tidak ingin hidup bahagia? Saya yakin tidak ada satu orang pun yang akan mengacungkan jarinya jika pertanyaan itu diajukan pada mereka. Sebab memang tidak ada satu orang pun di dunia ini yang mengharapkan hidup dalam kesengsaraan. Bahkan seorang sufi pun tidak pernah menginginkan menjalani kehidupan yang penuh kesengsaraan. Mungkin mereka hidup dalam kepapaan. Tapi meski dalam keadaan seperti itu mereka tetap mengejar kebahagiaan. Hanya saja kebahagiaan yang mereka kejar memang beda dari yang dikejar oleh orang awam seperti kita.

Meski semua orang ingin hidup bahagia, toh kenyataan yang terjadi di dunia ini sering kali tidak sama seperti yang diimpikan. Seringkali kita justru hidup dalam penderitaan. Seringkali yang kita ingini tidak terwujud. Seringkali pula usaha yang kita lakukan untuk mencapai kebahagiaan tidak membawa kita pada keadaan yang kita tuju. Dan tentu saja itu bukan dunia hayal. Hal yang semacam itu memang bisa terjadi dan memang sering terjadi.

Nah, yang menjadi masalah bagi kita bukanlah tidak terwujudnya impian kita. Yang justru menyakiti kita dan seringkali membuat kita terpuruk justru adalah sikap negatif kita menghadapi kegagalan. Sikap inilah yang memperparah dan menyakiti kita. Misalnya, saat kita ingin tulisan kita dimuat di surat kabar dan kenyataannya tulisan kita dianggap belum memenuhi kriteria untuk dimuat, ada sebagian kita yang tidak terpengaruh oleh kenyataan itu. Mereka tetap terus rajin menulis. Kegagalan untuk dimuat tidak menjadikan mereka patah arang. Akan tetapi, bagi beberapa orang lainnya, kegagalan semacam itu bisa benar-benar membuat mereka berhenti menulis. Mereka tidak menganggap kegagalan yang mereka alami sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa terjadi. Mereka menyakiti diri mereka sendiri, mungkin dengan mengatakan pada diri mereka sendiri bahwa memang mereka tak memiliki bakat menulis sehingga sampai kapanpun mereka mencoba mengirimkan artikel, tidak akan ada satupun tulisan mereka yang akan dimuat di surat kabar.

Di antara dua orang di atas, tentu bisa dilihat siapa yang menjalani hidup bahagia dan yang mengalami penderitaan hidup. Meskipun sama-sama gagal, orang pertama tetap bahagia. Mereka tidak menganggap kegagalannya sebagai akhir dari segala-galanya. Mereka tetap hidup dengan optimis. Sementara itu, riwayat orang kedua sudah tamat saat kegagalan menjemput mereka karena mereka memang berpikir bahwa dengan kegagalan itu mereka sudah tamat.

11 Februari 2011

Ngebut Demi Negara

Mungkin Anda sekalian mengira saya akan menulis tentang Doni Tata, atau Dani Pedrosa, atau bahkan Valentino Rossi. Tidak, saya tidak akan menulis tentang mereka karena semua orang sudah tahu bahwa orang-orang itu adalah pembalap yang kerjanya ngebut dan dengan ngebutnya itu mereka bisa mengharumkan nama bangsa dan negara. Karena itulah, mereka sudah tidak perlu lagi diceritakan. Semua orang sudah tahu. Anda juga kan?

Tapi, bukan hanya para pembalap MotoGP saja yang bisa ngebut demi bangsa dan negara? Ternyata, saya juga bisa melakukan itu. Dan lebih dari Rossi dan kawan-kawannya yang hanya ngebut sewaktu-waktu, saya hampir setiap hari ngebut demi negara :p

Begini ceritanya. Hari-hari ini saya ngajar di sebuah sekolah SSN. Bukan Sekolah Standar Nasional, tapi Sekolah Sangat Ndeso. Letak sekolah ini cukup jauh dari tempat tinggal saya. Dengan naik sepeda motor berkecepatan sedang, perjalanan bisa ditempuh kira-kira 45 menit sampai satu jam.

Tiap hari saya harus menempuh perjalanan dengan medan yang cukup berat itu. Sementara, di rumah saya juga sering kali harus menyelesaikan pekerjaan freelance yang biasanya saya kerjakan mulai dini hari. Di sinilah persoalannya mengemuka. Pekerjaan freelance saya itu seringkali mampu membius dan menceburkan saya ke rimba kata-kata (Mbak Ririe, pinjam kata-katanya ya?). Rasanya tanggung jika harus memutus keasyikan bergelut dengan kata-kata saat pekerjaan belum sempurna. Karena, seringkali kata-kata itu sulit untuk terlintas lagi jika sudah terputus oleh hal lain.

Demi agar tidak merasa tanggung, saya pun biasanya memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu sebelum berangkat mengajar. Nah, inilah penyebab tindakan patriotisme saya. Keputusan untuk menyempurnakan pekerjaan itu membuat saya tidak menyadari bahwa jarum jam sudah melewati angka yang seharusnya. Dan ketika menoleh ke pojok kanan bawah komputer, baru lah saya sadar bahwa waktu sudah sangat muepet.

Saking mepetnya, tidak ada cara lain agar tidak terlambat sampai sekolah, kecuali NGEBUT. Maka, seperti itulah yang saya lakukan hampir setiap hari: Ngebut pagi-pagi di medan yang cukup berat demi agar tidak terlambat sampai sekolah dan bisa memberi pelajaran tepat waktu. Nah, bukankah ngebut saya ini adalah demi Bangsa dan Negara :D (Narsis mode: ON)?