Seorang anak dipaksa oleh orang tuanya untuk menikah dengan calon pilihan mereka. Si anak telah memiliki pilihan sendiri. Cintanya pada pujaan hatinya begitu besar. Akan tetapi kecintaan pada orang tuanya dia rasa jauh lebih besar lagi. Maka, meski batinnya teriris-iris, dia membuang impiannya dan menuruti kehendak kedua orang tuanya.
Pujaan hati anak itu adalah seorang pemuda yang sangat rendah hati. Dia telah begitu banyak berkorban demi cintanya. Berulang kali dia membuang mimpinya sendiri demi rasa cintanya pada kekasih. Ketika kekasihnya memberi tahu bahwa dirinya sedang dalam dilemma, antara memilih cinta pada kekasih atau pada orang tua, si pemuda terdiam. Dalam hati dia begitu takut akan kehilangan kekasih yang sangat disayanginya. Akan tetapi, bagian hatinya yang lain memberitahunya bahwa bukan tindakan yang benar untuk mendapatkan cinta sang kekasih jika sang kekasih kemudian akan disebut anak durhaka. Dia berpikir bahwa pengorbanan terbesar dalam cinta adalah mengorbankan perasaan cintanya. Maka, jika selama ini dia telah begitu banyak berkorban demi kekasihnya, pengorbanan terpuncak dalam cintapun siap dia lakukan. Maka, kedua insan yang saling mencinta itupun berpisah dan berjanji untuk selalu saling mendoakan kebahagiaan pujaan hati mereka.
Pernikahan tak terhindarkan. Si anak hidup bersama orang yang pada mulanya tidak dia cinta. Hanya rasa bakti kepada orang tua lah yang membuat dia rela hidup dalam keadaan seperti itu. Meski wajah kekasihnya tak pernah bisa lepas dari pelupuk mata, dia tetap menjalani hidup dengan suaminya.
Hari berlalu, pasangan suami istri itu kini sudah hidup bahagia. Si anak, meski masih tetap menyimpan rasa cintanya pada pujaan hati, kini telah mulai bias mencintai suaminya. Karena memang si suami ini orang dengan kepribadian baik, maka diapun bias memperlakukan istrinya dengan penuh cinta. Maka, kebahagiaan akhirnya bisa menyelimuti kehidupan kedua insan ini.
Saat melihat kebahagiaan yang dirasakan si anak, kedua orang tua si anak itu merasa bangga bahwa mereka telah berhasil membahagiakan anaknya. Mereka semakin menganggap bahwa keputusannya untuk memaksa anaknya berpisah dari kekasih yang dia cinta dan memaksanya menikah dengan calon pilihannya adalah tindakan yang benar. "Buktinya, sekarang anak kita bisa hidup bahagia dengan suaminya”. Begitu ucap mereka dengan sangat bangga.
Tanpa diketahui dari mana datangnya, seorang pemuda tampan sudah berada di depan kedua orang si anak ini. Dengan pandangan sangat tajam, si pemuda berkata
"Wahai orang tua, bukan tindakan kalian yang telah memaksa anak kalian menikah dengan pilihan kalian yang membut dia bahagia. Tindakan kalian itu tetap salah. Kalaupun anak kalian sekarang bisa hidup bahagia, itu karena balasan dari keikhlasannya mengesampingkan cintanya sendiri demi untuk berbakti pada kalian. Bukan tindakan kalian yang telah membuatnya bahagia. Sampai kapanpun, tindakan kalian ini adalah tindakan salah yang tidak hanya telah menyakiti hati dan perasaan anak kalian, akan tetapi juga telah menghancurkan hati seorang pemuda yang telah tulus dan penuh pengorbanan mencintainya. Kini, karena keikhlasannya pemuda itu pun hidup sangat bahagia. Semoga Tuhan menyadarkan kalian karena jika kalian mati dan pemuda itu belum memaafkan kalian, maka akhiratmu akan terbebani.”
27 Agustus 2008
26 Agustus 2008
Introspeksi
Maaf, postingan kali ini tidak akan panjang. Tapi, meski pendek insyaAllah ini ada gunanya. Berguna bagi saya dan berguna bagi Anda sekalian. Hanya saja, saya jamin ini tidak akan berguna kalau mata hati Anda sudah tertutup. Karena saya yakin hati kita semua tidak buta, maka kita akan mendapat manfaatnya.
Apa sih?
Tidak ada apa-apa. Saya hanya ingin bertanya pada diri sendiri (saya harap Anda pun menanyakannya pada diri Anda sendiri).
Apakah kita benar-benar sayang pada seseorang saat keinginan kita pada orang itu tak terturuti kemudian kita marah kepadanya?
Masih abstrak ya? Oke dech saya buat contoh konkrit saja...
Well, kalau Anda adalah orang tua dari anak-anak Anda sendiri, apakah Anda bisa dikatakan benar-benar sayang pada anak Anda jika mereka (anak Anda) punya keinginan yang berbeda dari keinginan Anda dan Anda marah karenanya?
Atau, apakah Anda masih bisa mengklaim diri Anda orang tua yang benar-benar menyayangi anak Anda jika Anda memaksa (benar-benar memaksa) anak Anda untuk menikah dengan pilihan Anda sementara dia sudah punya pilihan sendiri?
Ah, sungguh tidak masuk akal Anda bisa mengklaim diri sebagai orang tua yang menyayangi anak Anda jika bahkan pilihannya pun tidak Anda hormati. Mungkin Anda merasa bahwa dalam segala hal pilihan Anda jauh lebih baik dari pada pilihan anak Anda. Akan tetapi, jika anak Anda tidak menyukainya dan kemudian Anda tetap memaksa apalagi tanpa mau tahu seperti apa pilihan anak Anda, maka sungguh Anda tidak pantas, dan tidak layak menyebut diri Anda orang tua yang menyayangi anak Anda.
Kalau Anda beralasan bahwa ini demi kebahagiaannya, bahwa anak Anda pasti akan bahagia menikah dengan orang yang sudah mapan, taat beragama, terpandang, dan predikat baik lainnya yang mungkin benar ada pada calon pilihan Anda itu, maka saya yakin Anda perlu introspeksi. Coba renungkan kembali apakah semua predikat itu untuk kebahagiaan anak Anda ataukah demi kehormatan Anda. Karena, jika bagi Anda kebahagiaan anak Anda yang utama (bukan kehormatan Anda sendiri) maka Anda sebagai orang tua pasti rela mengorbankan apapun termasuk kehormatan Anda.
Maka, wahai para orang tua, introspeksi sikap Anda. Meskipun Anda orang terpandang, bahkan kyai sekalipun, Anda masih juga manusia yang penuh nafsu di dalam diri.
Akhir kata, bukti cinta yang sebenarnya adalah pengorbanan. Hanya mereka yang berani mengorbankan kepentingan sendiri lah yang layak disebut benar-benar mencintai. Dan, di antara pengorbanan terbesar adalah mengorbankan rasa cinta. Maka, demi cinta saya pun akan rela mengorbankan rasa cinta ini.....
Bagi mereka yang merasa mencintai dan menyayangi orang lain padahal sebenarnya mereka hanya menyayangi diri mereka sendiri, hanya ada satu kata: SADARLAH...
Apa sih?
Tidak ada apa-apa. Saya hanya ingin bertanya pada diri sendiri (saya harap Anda pun menanyakannya pada diri Anda sendiri).
Apakah kita benar-benar sayang pada seseorang saat keinginan kita pada orang itu tak terturuti kemudian kita marah kepadanya?
Masih abstrak ya? Oke dech saya buat contoh konkrit saja...
Well, kalau Anda adalah orang tua dari anak-anak Anda sendiri, apakah Anda bisa dikatakan benar-benar sayang pada anak Anda jika mereka (anak Anda) punya keinginan yang berbeda dari keinginan Anda dan Anda marah karenanya?
Atau, apakah Anda masih bisa mengklaim diri Anda orang tua yang benar-benar menyayangi anak Anda jika Anda memaksa (benar-benar memaksa) anak Anda untuk menikah dengan pilihan Anda sementara dia sudah punya pilihan sendiri?
Ah, sungguh tidak masuk akal Anda bisa mengklaim diri sebagai orang tua yang menyayangi anak Anda jika bahkan pilihannya pun tidak Anda hormati. Mungkin Anda merasa bahwa dalam segala hal pilihan Anda jauh lebih baik dari pada pilihan anak Anda. Akan tetapi, jika anak Anda tidak menyukainya dan kemudian Anda tetap memaksa apalagi tanpa mau tahu seperti apa pilihan anak Anda, maka sungguh Anda tidak pantas, dan tidak layak menyebut diri Anda orang tua yang menyayangi anak Anda.
Kalau Anda beralasan bahwa ini demi kebahagiaannya, bahwa anak Anda pasti akan bahagia menikah dengan orang yang sudah mapan, taat beragama, terpandang, dan predikat baik lainnya yang mungkin benar ada pada calon pilihan Anda itu, maka saya yakin Anda perlu introspeksi. Coba renungkan kembali apakah semua predikat itu untuk kebahagiaan anak Anda ataukah demi kehormatan Anda. Karena, jika bagi Anda kebahagiaan anak Anda yang utama (bukan kehormatan Anda sendiri) maka Anda sebagai orang tua pasti rela mengorbankan apapun termasuk kehormatan Anda.
Maka, wahai para orang tua, introspeksi sikap Anda. Meskipun Anda orang terpandang, bahkan kyai sekalipun, Anda masih juga manusia yang penuh nafsu di dalam diri.
Akhir kata, bukti cinta yang sebenarnya adalah pengorbanan. Hanya mereka yang berani mengorbankan kepentingan sendiri lah yang layak disebut benar-benar mencintai. Dan, di antara pengorbanan terbesar adalah mengorbankan rasa cinta. Maka, demi cinta saya pun akan rela mengorbankan rasa cinta ini.....
Bagi mereka yang merasa mencintai dan menyayangi orang lain padahal sebenarnya mereka hanya menyayangi diri mereka sendiri, hanya ada satu kata: SADARLAH...
15 Agustus 2008
Hanya memberi tahu
Ah.. Sudah lama betul saya tidak mengisi tulisan di sini. Seperti biasa, saya tidak punya alasan yang lebih masuk akal selain alasan sibuk. Ya, meskipun alasan ini masuk akal, akan tetapi sebenarnya itu bukan alasan yang sebenarnya. Masih ada alasan lain di balik kata sibuk ini. Kira-kira, kalau ditelusuri lebih lanjut, di balik alasan yang paling sering digunakan orang ini (sibuk) ada satu kata yang lebih tepat menggambarkan penyebab begitu lamanya saya tidak mengupdate blog ini. Saya yakin Anda semua tahu. Ya, malas. Rasa malas lah yang sebenarnya menghalangi saya untuk terus menulis dan berbagi dengan Anda.
Ok, karena saya telah jujur kini saatnya saya memulai tulisan ini. Meskipun di lihat dari judul posting serta isi paragraf pertama tampaknya tulisan kali ini hanya pengumuman, sebetulnya saya benar-benar akan berbagi sesuatu dengan Anda (tentu saja kalau Anda mau menerima :D). Jadi terima kasih kalau Anda semua tidak berhenti di paragraf pertama dan masih membaca paragraf ini.
Baiklah, sebelumnya biarkan saya bertanya. Tolong jawab dengan jujur. “Ketika membaca judul tulisan ini “hanya memberi tahu” apakah Anda berpikir bahwa tulisan ini hanya akan berisi pengumuman? Jika iya, maka mulai saat ini Anda sekalian harus mulai berhati-hati saat mendengar, membaca, menulis, dan berbicara. Dari tiga kata dalam tulisan ini, saya yakin ada satu kata yang begitu penting sehingga mempengaruhi pikiran dan tebakan Anda akan isi tulisan ini. Apakah Anda mengatakan kata itu adalah “hanya”? Jika demikian, maka menurut saya Anda sedikit banyak sudah bisa menebak apa yang akan saya jelaskan. Benar, saya memang akan sedikit mengulas penggunaan kata hanya dalam kehidupan kita sehari-hari.
“Aku hanya ingin kau tahu betapa besarnya cintaku kepadamu" "Aku hanya ingin berbicara denganmu, itu saja" "Aku menelponmu hanya ingin bilang aku cinta kamu (I just call to say I love you)” “Aku hanya tak habis pikir kenapa dia tega melakukannya”
Saya yakin Anda sering mendengar, membaca, menulis, atau bahkan mengatakan kalimat-kalimat di atas. Dan inti dari semua kalimat itu ada pada kata “hanya”. Dan parahnya selama ini kita begitu cueknya dengan kata yang satu ini sehingga kita kurang memperhatikan arti sebenarnya yang terkandung oleh kata ini. Maksud saya begini, jika kita ingin menggunakan kata hanya dengan benar, maka kita harusnya hanya/benar-benar/sungguh-sungguh punya satu maksud dari kalimat yang kita buat.
Kenyataannya, hampir tidak ada satu orang pun di dunia ini (Anda boleh menyangkal asal ada alasan dan bukti kuat :D) yang pernah menggunakan kata hanya dan dia benar-benar hanya memiliki satu tujuan. Ambil lah contoh kalimat di atas “Aku hanya ingin kau tahu betapa besarnya cintaku kepadamu”. Di dalam kalimat ini, kalau kita benar-benar menggunakan kata hanya dengan benar maka seharusnya tidak ada maksud lain selain bahwa kita mau menunjukkan betapa besar cinta kita pada seseorang. Tapi apakah kita benar-benar hanya ingin menunjukkan rasa cinta pada seseorang saja, dan tidak ada keinginan lainnya setelah itu? Saya pikir dengan menggunakan kalimat di atas kita tidak berhenti hanya pada pengungkapan rasa cinta. Ada keinginan lain yang mungkin tidak kita akui. Misalnya “setelah kau tahu bahwa aku mencintaimu, balas dong cintaku ini” atau “aku ingin setelah kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu engkau mau kembali lagi kepadaku”. Nah, kalau memang demikian berarti kita belum bisa menggunakan kata hanya dengan benar.
Oiya, di dalam posting ini saya juga tidak hanya bermaksud memberi Anda informasi meskipun saya menggunakan kata hanya di dalam judul posting. Di samping memberi Anda informasi, saya juga ingin Anda setuju dengan pendapat saya. Nah, ini jelas contoh nyata bahwa kata hanya ternyata selalu digunakan tidak sebagaimana mestinya. Maka, hati-hatilah saat Anda membaca, mendengar, menulis, atau berbicara dengan menggunakan kata hanya....
Tapi terserah Anda sih, saya hanya ingin memberi tahu :D :D :D
Ok, karena saya telah jujur kini saatnya saya memulai tulisan ini. Meskipun di lihat dari judul posting serta isi paragraf pertama tampaknya tulisan kali ini hanya pengumuman, sebetulnya saya benar-benar akan berbagi sesuatu dengan Anda (tentu saja kalau Anda mau menerima :D). Jadi terima kasih kalau Anda semua tidak berhenti di paragraf pertama dan masih membaca paragraf ini.
Baiklah, sebelumnya biarkan saya bertanya. Tolong jawab dengan jujur. “Ketika membaca judul tulisan ini “hanya memberi tahu” apakah Anda berpikir bahwa tulisan ini hanya akan berisi pengumuman? Jika iya, maka mulai saat ini Anda sekalian harus mulai berhati-hati saat mendengar, membaca, menulis, dan berbicara. Dari tiga kata dalam tulisan ini, saya yakin ada satu kata yang begitu penting sehingga mempengaruhi pikiran dan tebakan Anda akan isi tulisan ini. Apakah Anda mengatakan kata itu adalah “hanya”? Jika demikian, maka menurut saya Anda sedikit banyak sudah bisa menebak apa yang akan saya jelaskan. Benar, saya memang akan sedikit mengulas penggunaan kata hanya dalam kehidupan kita sehari-hari.
“Aku hanya ingin kau tahu betapa besarnya cintaku kepadamu" "Aku hanya ingin berbicara denganmu, itu saja" "Aku menelponmu hanya ingin bilang aku cinta kamu (I just call to say I love you)” “Aku hanya tak habis pikir kenapa dia tega melakukannya”
Saya yakin Anda sering mendengar, membaca, menulis, atau bahkan mengatakan kalimat-kalimat di atas. Dan inti dari semua kalimat itu ada pada kata “hanya”. Dan parahnya selama ini kita begitu cueknya dengan kata yang satu ini sehingga kita kurang memperhatikan arti sebenarnya yang terkandung oleh kata ini. Maksud saya begini, jika kita ingin menggunakan kata hanya dengan benar, maka kita harusnya hanya/benar-benar/sungguh-sungguh punya satu maksud dari kalimat yang kita buat.
Kenyataannya, hampir tidak ada satu orang pun di dunia ini (Anda boleh menyangkal asal ada alasan dan bukti kuat :D) yang pernah menggunakan kata hanya dan dia benar-benar hanya memiliki satu tujuan. Ambil lah contoh kalimat di atas “Aku hanya ingin kau tahu betapa besarnya cintaku kepadamu”. Di dalam kalimat ini, kalau kita benar-benar menggunakan kata hanya dengan benar maka seharusnya tidak ada maksud lain selain bahwa kita mau menunjukkan betapa besar cinta kita pada seseorang. Tapi apakah kita benar-benar hanya ingin menunjukkan rasa cinta pada seseorang saja, dan tidak ada keinginan lainnya setelah itu? Saya pikir dengan menggunakan kalimat di atas kita tidak berhenti hanya pada pengungkapan rasa cinta. Ada keinginan lain yang mungkin tidak kita akui. Misalnya “setelah kau tahu bahwa aku mencintaimu, balas dong cintaku ini” atau “aku ingin setelah kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu engkau mau kembali lagi kepadaku”. Nah, kalau memang demikian berarti kita belum bisa menggunakan kata hanya dengan benar.
Oiya, di dalam posting ini saya juga tidak hanya bermaksud memberi Anda informasi meskipun saya menggunakan kata hanya di dalam judul posting. Di samping memberi Anda informasi, saya juga ingin Anda setuju dengan pendapat saya. Nah, ini jelas contoh nyata bahwa kata hanya ternyata selalu digunakan tidak sebagaimana mestinya. Maka, hati-hatilah saat Anda membaca, mendengar, menulis, atau berbicara dengan menggunakan kata hanya....
Tapi terserah Anda sih, saya hanya ingin memberi tahu :D :D :D
Langganan:
Postingan (Atom)