Baru saja saya baca koran terbitan tiga hari yang lalu. Selain tertarik pada berita tentang kejutan-kejutan yang dilakukan Gus Dur dengan keputusannya memecat Ketua Umum PKB, Cak Imin, yang notabene juga keponakannya sendiri, saya juga tertarik dengan berita feature mengenai kinerja, kerja, dan pengorbanan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di koran itu diberitakan atau diceritakan (?) bahwa para anggota KPK ternyata hidup dalam kondisi yang tidak menyenangkan.
Setidaknya ada tiga hal yang membuktikan bahwa hidup anggota KPK itu "susah". Pertama, konon sebagai pegawai tingkat eselon I uang saku untuk tugas ke luar daerah tidak sampai seratus ribu per hari. Dengan uang saku sejumlah ini tentu para anggot KPK tidak bisa menginap di hotel-hotel berbintang saat harus tugas ke luar kota. Coba bandingkan dengan uang saku legislatif. Tentu jumlah itu kalah jauh.
Kedua, dengan pekerjaan yang pasti membangkitkan kebencian orang yang didakwa, ternyata keamanan mereka tidak dijaga ketat. Pihak keamanan hanya dipersiapkan saat para anggota itu bertugas mengadili kasus-kasus tertentu. Setelah itu tidak ada satu orang pun yang ditugaskan untuk menjaga keamanan mereka. Jadi, mereka harus siap untuk mati kapanpun jika ternyata orang-orang yang mereka dakwa nekat membunuh mereka.
Ketiga, dengan gaji, uang saku, dan jaminan keamanan yang minim itu, para anggota KPK harus tabah dengan godaan para koruptor untuk memberi apapun yang mereka mau. Tentu saja ini sangat sulit dilakukan. Mungkin seperti harus menolak ajakan makan tuan rumah saat kita bertamu padahal perut kita sedang lapar keroncongan. Sulit!
Lebih jauh lagi, dalam keadaan yang mengenaskan semacam itu koran yang saya baca meriwayatkan bahwa para anggota KPK itu masih merasa bahagia dan beruntung khususnya saat melihat masih banyak orang yang hidupnya jauh di bawah mereka. Nah, saat membaca bagian inilah saya berkata dalam hati bahwa para anggota KPK itu adalah orang-orang hebat. Tetap bersyukur mesti mungkin nyawanya sedang terancang. Ya, benar. Pikiran semacam itu yang pertama terlintas di benak saya. Bahwa mereka adalah orang hebat. Dan saya yakin anda akan setuju dengan saya. Benar?
Akan tetapi, sesaat kemudian saya merasa geli. Yach, tentu saja saya tidak geli dengan para anggota KPK itu. Saya juga tidak merasa geli dengan pemerintah yang tidak memberikan pengamanan ekstra ketat serta uang saku yang lebih mencukupi bagi mereka. Saya tetap mengaggap mereka orang hebat. Dan saya pun tidak menganggap pemerintah tidak bijak. Saya geli karena menengok pada kehidupan saya sendiri selama ini. Saya geli karena seperti para anggota KPK itu saya sering berusaha menghilangkan perasaan susah saya dengan melihat pada orang lain yang hidupnya lebih sulit dari saya. Ya, seperti anggota KPK itu saya juga berbahagia karena ada orang yang kesusahannya lebih besar dari saya.
Lalu apa yang salah dari sikap saya juga sikap anggota KPK di atas sehingga saya harus merasa geli sendiri? Bukankah agama memang mengajarkan kita untuk selalu melihat ke bawah agar kita senantiasa bisa bersyukur? Lalu apa yang salah dengan ajaran agama ini?
Baiklah, beginilah hasil pencarian hikmah saya atas pertanyaan-pertanyaan di atas yang disebabkan oleh rasa geli pada diri sendiri itu.
Pertama, benar bahwa kita diajarkan untuk selalu melihat ke bawah. Benar, saya berkali-kali membaca ajaran ini. Jadi, saya atau anda atau siapapun tidak salah saat berbuat sebagaimana yang diajarkan itu. Sekali lagi, jika saya, anda, dan siapapun berbuat sebagaimana yang diajarkan, maka saya, anda, dan siapapun tidak lah salah. Kedua, tidak ada yang salah dengan ajaran ini. Ajaran ini tidak salah. Ini adalah suatu ajaran yang jika dilaksanakan dengan benar akan membentuk pribadi unggul. Lalu apa masalahnya? Lihat pada kalimat yang barusan anda baca. Di situ tertulis jika dilaksanakan dengan benar. Dan inilah yang membuat saya merasa geli pada diri sendiri. Saya merasa belum melaksanakan ajaran ini dengan benar. Lho kok?
Iya, bagaimana saya bisa berkata bahwa ajaran ini telah saya jalankan sebagaimana yang diperintahkan kalau saat menjalankannya ada ironi yang berkecamuk di kepala.
Apakah termasuk perbuatan yang dibenarkan jika saya menangis bahagia karena rumah saya tidak runtuh oleh gempa bumi saat orang di sekitar saya menjerit pilu karena rumahnya telah runtuh dengan tanah? Atau, apakah benar kalau saya berucap syukur saat keluarga saya baik-baik saja sementara tetangga sebelah sedang berduka karena salah satu anak perempuannya hamil di luar nikah? Ya, saya merasa geli karena selama ini saya merasa telah menyalahpahami ajaran ini dan menafsirkan serta menjalankannya seenak saya. Tapi jujur, saya masih belum tahu apakah yang baru saja saya sebutkan: bahagia saat rumah tetap berdiri dan bersyukur saat keluarga baik-baik saja adalah perbuatan yang salah. Karena itu jika anda punya pendapat, saya akan sangat berterima kasih pada Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).