Hari ini saya dengan sangat terpaksa harus mengakui keunggulan salah seorang rekan kerja yang kebetulan berjenis kelamin perempuan. Namanya bu Yuni. Meski sudah mengeluarkan segenap kemampuan, tetap saja saat tadi bertanding tenis meja melawan rekan saya itu, saya ditaklukkan dua set langsung. Sebetulnya bukan hanya dalam pertandingan tenis meja saja saya takluk. Di pertandingan tenis lapangan saya juga masih harus menelan kekalahan dari dia. Berhubung saya adalah pencari hikmah, maka meski kalah saya tetap harus mencari hikmah. Dan, hikmah itu adalah pemahaman saya yang lebih mendalam (saya rasa) mengenai emansipasi wanita.
Hmm, ngomong-ngomong tentang emansipasi, jika mendengar kata yang satu ini, apa yang terlintas di benak Anda? Saya yakin nama R.A. (Raden Ajeng) Kartini berada di urutan teratas kilasan pikiran Anda. Lalu ketertindasan wanita menduduki tempat selanjutnya. Dan ketidakadilan peran kaum adam dan hawa di urutan ketiga. Apakah dugaan saya betul? Mudah-mudahan betul. :D
Sangat wajar jika nama Kartini segera terlintas di benak Anda. Bagaimana tidak? Lha wong sebagian besar dari kita pertama kali tahu kata emansipasi adalah dulu saat guru kita menjelaskan tentang Kartini. Ini terutama berlaku pada saya. Saya pertama kali mendengar kata asing yang ternyata dari bahasa Inggris ini ketika guru saya menjelaskan panjang lebar mengenai peran Kartini dalam pelajaran sejarah (kalau tidak salah dulu namanya PSPB). Meski waktu itu saya belum tahu betul artinya, sedikitnya saya sudah mulai tahu maksudnya dan kadangkala juga menggunakannya.
Ketertindasan wanita serta ketidakadilan peran laki-laki perempuan juga sangat mungkin dikaitkan dengan kata emansipasi. Kenapa? Sekali lagi karena Kartini. Lho kok Kartini lagi? Ya iya lah (masak ya iya dong :D). Kan beliau wanita pertama yang tercatat di dalam sejarah Indonesia yang dengan gigih memperjuangkan persamaan hak dan peran antara laki-laki dan perempuan. Katanya, dulu peran dan kedudukan wanita dipandang hanya sebelah mata (pegel dong matanya merem melek terus :D). Kalau ayah saya bilang, dulu peran wanita itu hanya tiga: macak, masak, manak (dandan, masak, dan melahirkan). Kalau Anda-Anda (para wanita masa kini) hidup di masa itu, bisakah Anda sekalian membayangkan bagaimana rasanya? Dari sekian banyak aktifitas yang bisa dilakukan, Anda hanya dibatasi untuk melakukan tiga hal di atas. Meski saya seorang pria, saya bisa membayangkan betapa tersiksanya wanita masa itu.
Nah, Kartini telah memulai gerakan untuk menentang pembatasan peran dan kedudukan wanita. Kini, wanita tidak lagi hanya berada di dapur (untuk masak), di depan cermin (untuk macak), di atas kasur (untuk siap-siap manak). Hampir di semua bidang kehidupan, wanita kini telah ikut ambil bagian. Wartawan wanita, banyak. Presiden perempuan, tidak sedikit. Menteri(wati), berlimpah. Bahkan, pimpinan perampok yang jenis kelaminnya perempuan juga sudah ada.
Sayangnya, meski sekarang sudah begitu banyak wanita yang menjabat posisi yang dulu hanya dipegang oleh kaum laki-laki, ternyata masih banyak juga kaum perempuan yang hanya menuntut emansipasi. Mereka tidak melakukan apa-apa untuk bisa mendapatkan peran yang diinginkan. Mereka hanya berteriak-teriak, merengek-rengek, dan meminta kaum adam untuk memberi posisi. Saat posisi sudah didapat dan peran baru sudah dijabat meski hanya sekedar pemberian, mereka baru bisa bernafas lega dan berani berkata bahwa di negaranya emansipasi wanita benar-benar ditegakkan.
Lho, lho, lho, kok jadi jauh begini pembahasan hikmah kali ini. Wah, mungkin saya masih emosi karena kekalahan saya sehingga jari saya jalan-jalan di atas keyboard tanpa saya sadari :D. Tapi, intinya Anda pasti bertanya apa hubungan antara Kartini, Bu Yuni, pemahaman yang lebih baik mengenai emansipasi, dan kekalahan saya dari bu Yuni. Kalau itu pertanyaan Anda, maka jawabannya adalah begini: Kartini memperjuangkan emansipasi wanita karena beliau melihat ketertindasan perempuan dari laki-laki. Untuk melakukan perjuangannya Kartini tidak hanya menuntut dan merengek-rengek pada kaum lelaki masa itu agar peran wanita tidak dibatasi. Sebaliknya, beliau berjuang dengan melakukan tindakan nyata yang membuktikan bahwa wanita juga bisa unggul dalam hal-hal yang dulu hanya dilakukan oleh laki-laki. Nah, di lain pihak, bu Yuni juga telah menunjukkan kepada saya bahwa wanita memang bisa lebih unggul dari laki-laki. Buktinya dia bisa mengalahkan saya dalam pertandingan tenis. Dia tidak hanya merengek untuk diperlakukan sama, tetapi melakukan tindakan nyata yang membuktikan bahwa dirinya (dan kaumnya) tidak kalah, bahkan bisa lebih unggul, dari kaum laki-laki.
Jadi, kalau Anda adalah kaum hawa yang sedang menuntut emansipasi, ada baiknya Anda meniru dua orang di atas, Kartini dan bu Yuni. Jangan hanya menuntut untuk diberi diperlakukan sama, akan tetapi buktikanlah dengan tindakan nyata bahwa Anda memang layak mendapat perlakukan sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).