Biasanya, menjadi anak bungsu merupakan anugerah. Kenapa demikian? Anak bungsu umumnya menjadi anak kesayangan orang tuanya. Apapun yang dimaui, pasti dipenuhi. Apapun keinginannya, pasti dikabulkan. Bahkan, selain dari orang tua, si bungsu juga biasanya menjadi muara kasih sayang kakak-kakak yang telah terlahir dahulu. Intinya, menjadi anak bungsu adalah jaminan kebahagiaan.
Kenyataannya, tidak selamanya menjadi anak bungsu selalu menyenangkan. Bertolak belakang dari pandangan umum bahwa menjadi anak bungsu merupakan anugerah, sebenarnya terlahir paling akhir bisa jadi merupakan sebuah bencana. Kalo Anda tidak percaya, baiklah lanjutkan membaca postingan ini karena tulisan semacam ini hanya terdapat di sini. Kalo ada di tempat lain, berarti itu postingan copy paste dari blog ini (mode narsis ON :D)
Baiklah, saya tidak akan berpanjang lebar lagi. Akan saya upayakan untuk menjelaskan pendapat saya secara ringkas, padat, dan jelas. AKan tetapi, sebelumnya harus diingat bahwa yang akan saya tulis ini tidak berlaku umum. Ya seperti kata pepatah, di setiap teori pasti ada pengecualian.
Well, tapi saya kok capek banget ya...? Yawdah dech, bahasan tentang si bungsu yang teraniaya ini akan saya lanjutkan kapan-kapan saja biar lebih komprehensif. Ditunggu ya....
(Selang tiga hari kemudian)
Huff, rasanya dua hari sudah cukup bagi saya beristirahat. Kini tiba saatnya saya melanjutkan dan menyelesaikan tulisan ini. Siapa tahu ada yang sudah tidak sabar menunggu. (Narsis lagi... hehe).
Sebenarnya, banyak alasan yang saya miliki sehingga saya berkesimpulan bahwa menjadi anak bungsu tidaklah menyenangkan akan tetapi justru menyakitkan. Namun, di posting kali ini saya tidak akan mengemukakan semua alasan yang saya miliki. Dua alasan saja saya rasa sudah akan bisa meyakinkan Anda bahwa memang menjadi anak bungsu tidaklah semenyenangkan seperti yang Anda bayangkan selama ini.
Pertama, dalam sebuah keluarga dengan beberapa anak, anak bungsu pasti akan mendapatkan satu stigma yang tidak menyenangkan yakni selamanya ia akan dianggap kekanak-kanakan atau tidak dewasa. Stigma ini akan terus melekat pada anak bungsu mungkin hingga ajal menjemputnya (hihihi, tragis banget bahasanya. Ngeri sendiri saya membaca kalimat ini).
Lho, emangnya mendapat stigma kekanak-kanakan akan membuat hidup jadi tidak menyenangkan? Ya iya lah... stigma kekanak-kanakan akan membuat hidup kita jadi sangaaat tidak menyenangkan. Kenapa? Karena stigma ini akan menjadi awal dan alasan tindakan dan perlakuan tidak menyenangkan yang akan diterima si anak di masa yang akan datang baik dari keluarga sendiri (termasuk di dalamnya orang tua dan kakak-kakak) maupun dari orang lain.
Kok bisa demikian? Ya bisa lah... Sekarang coba Anda bayangkan. Jika Anda menganggap anak Anda atau adik Anda masih anak-anak, bagaimana perlakuan Anda pada anak atau adik Anda itu? Saya percaya, jawaban yang pertama kali akan Anda lontarkan adalah "saya akan menyayanginya sepenuh hati". Bagus, memang seorang anak kecil sangat membutuhkan kasih sayang orang tua dan kakak-kakaknya. Terus, kalo anak atau adik yang Anda anggap masih kecil itu punya keinginan yang berbeda dengan Anda, apa yang Anda lakukan? Kok diem? Bingung ya? Ayolah, ungkapkan saja isi pikiran Anda dengan jujur. Apa yang akan Anda lakukan jika kondisinya demikian?
Nah, itu dia. Itulah penjelasannya kenapa mendapat stigma tak pernah dewasa tidak menyenangkan. Karena dengan stigma demikian, hakikatnya sebagian atau lebih dari kemerdekaan seorang anak sudah terenggut. Kok saya bisa berkata demikian? Iya, karena saya yakin saat seorang anak atau adik yang Anda anggap masih kanak-kanak memiliki keinginan yang berbeda dari keinginan Anda, maka yang akan Anda lakukan adalah berusaha dengan berbagai cara agar si anak mau mengubah keinginannya dan menuruti keinginan Anda. Iya kan? Kenapa demikian? Karena saat Anda menganggap anak atau adik Anda masih belum dewasa, maka Anda pasti akan beranggapan bahwa dia belum bisa memilah antara yang baik dan buruk. Akibatnya, saat pilihan anak berbeda dengan pilihan Anda maka Anda pasti akan menyalahkan pilihannya dan membenarkan pilihan Anda. "Kan dia masih kanak-kanak, sedangkan aku sudah mengenyam asam garam kehidupan". Pasti begitu gumama Anda dalam hati. Benar begitu tho? Ayo ngaku...
Kedua, ada satu peraturan tak tertulis di masyarakat (khususnya masyarakat daerah tertentu. terutama di daerah K***s, hehehehe) bahwa anak bungsu berkewajiban menjaga orang tua. Nah, peraturan yang mewajibkan ini sangat-sangat-sangat tidak menyenangkan.
"Lho, ini alasan yang tidak bisa diterima. Ini alasan yang sama sekali tidak ada landasannya. Apapun alasannya, menjaga orang tua harus dilakukan dengan penuh keihlasan, tidak boleh menggerutu atau mengeluh karena orang tua juga telah menjaga kita saat kita masih bayi. Jadi menjaga orang tua khususnya saat mereka sudah tua memang sebuah kewajiban sekaligus cara kita membalas kebaikan mereka".
Saya yakin kebanyakan dari Anda akan menggerutu demikian dalam hati saat membaca alasan kedua yang saya kemukakan. Baiklah, saya tidak akan melarang Anda menggerutu. Tapi, sebelum Anda melanjutkan gerutuan, tolong dengarkan dulu penjelasan saya kenapa saya berpendapat demikian.
Begini, memang benar menjaga orang tua saat mereka sudah tua adalah salah satu cara untuk membalas kebaikan mereka pada kita. Saya setuju seratus persen dengan ini. Bahkan, saya berani menyatakan bahwa kebaikan yang kita lakukan dengan cara melayani mereka saat mereka sudah tua masih lah jauh dari kebaikan yang mereka lakukan pada kita. Jika seumur hidup pun kita mengabdi dan melayani mereka, itu belum seimbang dengan kebaikan yang telah mereka lakukan pada kita. (Puas???)
Jadi, saya tidak mempersoalkan kewajiban menjaga orang tua ini. Fokus saya adalah aturan tak tertulis tentang kewajiban ini yang seolah-olah 90 persennya hanya dibebankan pada anak bungsu. Ini yang tidak adil. Ini yang dzalim. Kok bisa? Iya, karena jelas bagaimanapun ini bukan hanya kewajiban anak bungsu. Menjaga dan melayani orang tua adalah hak dan kewajiban semua anak termasuk anak sulung, anak tengah, anak setengah tengah dan anak bungsu. Maka, membebankan kewajiban ini hanya pada anak bungsu, apalagi dengan alasan agama jelas merupakan tindakan tak adil yang merampas hak-hak anak bungsu.
Masih bingung dengan alasan kedua ini? Baiklah, akan saya perjelas dengan contoh. Bayangkan, Anda adalah anak sulung, atau anak kedua, atau anak ketiga (pokoknya jangan anak bungsu) dari sebuah keluarga. Bayangkan, suatu saat Anda jatuh cinta pada seseorang yang kebetulan berasal dari luar kota. Anda sangat mencintai dia dan diapun mencintai Anda. Dia mau menikah dengan Anda akan tetapi tidak bisa tinggal bersama dengan orang tua Anda karena pekerjaannya di luar kota. Nah, pada saat demikian apa yang akan Anda lakukan? Saya yakin Anda akan menerima syarat itu dan melanjutkan niat Anda untuk menikah dengan orang yang Anda cintai itu meski setelah menikah Anda berdua tidak lagi harus bersama dengan Orang tua Anda. Kenapa Anda berani mengambil keputusan semacam ini? Lagi-lagi saya yakin karena Anda merasa tidak berkewajiban untuk menjaga orang tua. "Toh, masih ada adik saya". Saya yakin Anda berpikir demikian. AYo ngaku.....
Sekarang, bayangkan Anda dan adik-adik Anda selain si bungsu sudah menikah dan keluar dari rumah orang tua (meskipun tidak keluar kota). Suatu ketika adik bungsu Anda jatuh cinta pada seseorang yang juga berasal dari luar kota dan kerjanya pun di luar kota. Adik Anda sangat mencintai orang itu dan begitu pula sebaliknya. Dan mereka pun siap untuk menikah. Nah, sebagai kakak, apa yang akan Anda lakukan dalam keadaan demikian? Apakah Anda akan dengan serta merta menyetujui pilihan Adik bungsu Anda itu?
Nah, iya kan? Anda pasti tidak akan begitu saja menyetujui pilihan adik bungsu Anda. Jika Anda seorang yang ekstrim, bisa jadi Anda akan secara mentah-mentah menolak pilihan Adik Anda itu. Anda mungkin akan berargumen ini itu untuk menguatkan penolakan Anda dan agar terdengar rasional. Padahal, saya yakin di dalam hati Anda takut jika adik Anda jadi menikah dengan orang luar kota, maka bisa jadi dia ikut keluar kota. "Kalau demikian, siapa yang akan menjaga orang tua". Pasti, Anda berpikir demikian. Ngaku-ngaku.... (hehehehe)
Pertanyaannya, jika Anda boleh memutuskan untuk menikah dengan seseorang dan kemudian meninggalkan rumah, kenapa Anda melarang adik bungsu Anda untuk melakukan hal yang sama? "Lho, dia akan anak bungsu. Dia harus menjaga orang tua" Nah, ketahuan kan alasan Anda. Berarti benar kan bahwa menjadi anak bungsu tidak menyenangkan karena ia dibebani oleh kakak-kakak dan masyarakat sekitarnya untuk memikul tanggung jawab menjaga orang tua.
Udah ah, cukup segitu dulu postingan kali ini. Kalo, tidak sepakat dengan pendapat saya, silakan kasih komentar.... Bye....
03 Desember 2008
Sedikit tentang Maryamah Karpov
Ini bukan review buku atau kritik sastra apalagi spoiler. Ini hanyalah kilasan-kilasan gagasan yang muncul di kepala saya dan ingin segera dicurahkan. Dan kebetulan pemicu gagasan ini adalah buku terakhir Pak Cik Andrea Hirata yang tentu saja berjudul Maryamah Karpov.
Di posting terdahulu kala saya pernah menyebutkan bahwa sebenarnya buku terakhir dari tetralogi laskar pelangi akan dirilis pada bulan April yang lalu. Ya maaf. Dulu saya berani menulis demikian bukan tanpa alasan. Waktu itu kabar yang beredar memang begitu. Bahkan, saat saya bertandang ke rumah mayanya Pak Cik Andrea Hirata, informasi valid tentang rilis buku Maryamah Karpov ya memang pada bulan April. Tapi, ternyata dan faktanya buku ini baru rilis akhir bulan November. Ya bukan salah saya dong. Tapi salahnya penerbit, ngapain ditunda-tunda. Tapi, meski ditunda rilisnya, Anda tidak akan kecewa kok kalo beli buku ini meski dibanding tiga buku sebelumnya harga buku terakhir ini terbilang mahal.
Baiklah, seperti yang sudah saya bilang di atas, tulisan ini bukanlah review buku Maryamah Karpov. Sekali lagi saya tegaskan: Ini bukan review! Posting ini hanya akan mengulas tentang judul yang digunakan yakni "Maryamah Karpov".
Jujur saja, ketika dulu membeli tiga buku lainnya, saya berpikir dalam hati kenapa buku terakhir diberi judul "Maryamah Karpov". Luar biasa, baru judulnya saja sudah membuat saya penasaran. Kok penasaran? Ya iyalah. Gimana gak penasaran kalo ada nama aneh samacam itu. Coba bayangkan: MARYAMAH KARPOV. Apakah mendengar nama ini telinga Anda tidak merasakan apa-apa? Kalo tidak mungkin memang Anda yang kurang peka. Sebab, Maryamah Karpov memang bukanlah nama khas Indonesia. Kalo Maryamah si emang Indonesia banget. Tapi Karpov? Setahu saya ini nama Rusia. Tahu kan Grand Master catur "Anatoly Karpov"?. Emang nama yang aneh kan? Jadi, boleh dong kalo saya penasaran. Pasti Anda juga iya.
Nah, jujur lagi, dulu saya menebak-nebak bahwa Maryamah Karpov ini adalah A Ling. Ya secara di edensor kan Ikal begitu rupa mencari-cari keberadaan A Ling sampai melintasi Eropa dan Afrika. Masih ingatkan bagaimana di Rusia Ikal begitu kuatir karena mendengar A Ling menjadi favorit di sebuah rumah bordil yang ternyata adalah merek obat kuat? Ketika membaca bagian ini saya menduga bahwa A Ling memang berada di Rusia dan karena satu dan lain alasan mengganti namanya menjadi Maryamah Karpov.
Ternyata saya telah tertipu dan ditipu oleh Pak Cik Andrea karena ternyata judul Maryamah Karpov tidak ada kaitannya sama sekali dengan petualangannya di Eropa. Ternyata (lagi) novel ini dijuduli demikian karena fokus kelucuannya adalah seputar nama. Iya, Anda akan dibuat tertawa terbahak-bahak hanya dengan membaca nama-nama tokoh yang diceritakan di novel ini. Jangan tanya kenapa. Karena saya tidak akan menjawabnya. Biar tahu, silakan Anda pergi ke toko buku dan siapkan uang 80 ribu rupiah. Setelah itu bacalah dengan sabar. Niscaya Anda akan tahu apa yang saya maksudkan. Selamat membaca.
Di posting terdahulu kala saya pernah menyebutkan bahwa sebenarnya buku terakhir dari tetralogi laskar pelangi akan dirilis pada bulan April yang lalu. Ya maaf. Dulu saya berani menulis demikian bukan tanpa alasan. Waktu itu kabar yang beredar memang begitu. Bahkan, saat saya bertandang ke rumah mayanya Pak Cik Andrea Hirata, informasi valid tentang rilis buku Maryamah Karpov ya memang pada bulan April. Tapi, ternyata dan faktanya buku ini baru rilis akhir bulan November. Ya bukan salah saya dong. Tapi salahnya penerbit, ngapain ditunda-tunda. Tapi, meski ditunda rilisnya, Anda tidak akan kecewa kok kalo beli buku ini meski dibanding tiga buku sebelumnya harga buku terakhir ini terbilang mahal.
Baiklah, seperti yang sudah saya bilang di atas, tulisan ini bukanlah review buku Maryamah Karpov. Sekali lagi saya tegaskan: Ini bukan review! Posting ini hanya akan mengulas tentang judul yang digunakan yakni "Maryamah Karpov".
Jujur saja, ketika dulu membeli tiga buku lainnya, saya berpikir dalam hati kenapa buku terakhir diberi judul "Maryamah Karpov". Luar biasa, baru judulnya saja sudah membuat saya penasaran. Kok penasaran? Ya iyalah. Gimana gak penasaran kalo ada nama aneh samacam itu. Coba bayangkan: MARYAMAH KARPOV. Apakah mendengar nama ini telinga Anda tidak merasakan apa-apa? Kalo tidak mungkin memang Anda yang kurang peka. Sebab, Maryamah Karpov memang bukanlah nama khas Indonesia. Kalo Maryamah si emang Indonesia banget. Tapi Karpov? Setahu saya ini nama Rusia. Tahu kan Grand Master catur "Anatoly Karpov"?. Emang nama yang aneh kan? Jadi, boleh dong kalo saya penasaran. Pasti Anda juga iya.
Nah, jujur lagi, dulu saya menebak-nebak bahwa Maryamah Karpov ini adalah A Ling. Ya secara di edensor kan Ikal begitu rupa mencari-cari keberadaan A Ling sampai melintasi Eropa dan Afrika. Masih ingatkan bagaimana di Rusia Ikal begitu kuatir karena mendengar A Ling menjadi favorit di sebuah rumah bordil yang ternyata adalah merek obat kuat? Ketika membaca bagian ini saya menduga bahwa A Ling memang berada di Rusia dan karena satu dan lain alasan mengganti namanya menjadi Maryamah Karpov.
Ternyata saya telah tertipu dan ditipu oleh Pak Cik Andrea karena ternyata judul Maryamah Karpov tidak ada kaitannya sama sekali dengan petualangannya di Eropa. Ternyata (lagi) novel ini dijuduli demikian karena fokus kelucuannya adalah seputar nama. Iya, Anda akan dibuat tertawa terbahak-bahak hanya dengan membaca nama-nama tokoh yang diceritakan di novel ini. Jangan tanya kenapa. Karena saya tidak akan menjawabnya. Biar tahu, silakan Anda pergi ke toko buku dan siapkan uang 80 ribu rupiah. Setelah itu bacalah dengan sabar. Niscaya Anda akan tahu apa yang saya maksudkan. Selamat membaca.
Disclaimer
Terpaksa saya mengikuti jejak salah satu rekan saya untuk membuat disclaimer di blog ini. Saya katakan terpaksa karena memang sebetulnya saya tidak ingin melakukannya (Ya iya lah, kalo ingin ya bukan terpaksa namanya). Sebetulnya saya masih ingin terus menjadi pencari hikmah. Ingin rasanya tiap hari saya menuliskan petualangan saya di rimba kehidupan ini dan berbagi hikmah dari setiap peristiwa dengan Anda semua. Jujur, saya merasa sangat bahagia bisa berbagi sesuatu (hikmah - red) yang mungkin bagi sebagian orang tidak kelihatan. Memang benar, kita akan lebih merasa bahagia saat kita memberi, bukannya menerima (wuih kok masih sok berhikmah-hikmah gini). Namun, apa daya perjalanan hidup memang tidaklah mudah. Banyak onak dan duri di kanan kiri. Kalo digambarkan, hidup ini lebih layak disamakan dengan jalan menanjak, berkelak-kelok, dan penuh dengan jurang terjal di kanan kiri. Itu hidup saya. Tapi saya yakin hidup Anda pun tidak jauh berbeda.
Nah, karena pengalaman hidup yang menanjak dan penuh onak dan duri itulah akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi menjadi pencari hikmah. Apakah Anda bertanya mengapa? Hmm, jawabannya singkat. Karena, meskipun saya bisa mengambil hikmah dari segala yang terjadi pada diri saya, toh hikmah itu tidak menjadikan saya lebih bijak. Kok bisa? Iya bisa lah, masak ya bisa donk. Karena sejauh ini saya hanya rajin mencari hikmah tanpa mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Misalnya, saya tahu bahwa Tuhan itu maha adil. Saya meyakini itu. Tiap kali ada hal-hal tidak menyenangkan yang menimpa saya, saya selalu mengacu pada hikmah di atas yakni bahwa tuhan maha adil. Akan tetapi, tahukah Anda bahwa meski dengan pengakuan yang begitu tulus bahwa Tuhan maha Adil, toh tiap kali tertimpa masalah hati masih saya masih selalu bertanya-tanya "Kenapa Tuhan tidak adil? Kenapa tuhan tidak adil pada hambaNya yang mengakui bahwa Dia maha adil?" Begitulah. Jadi, pengetahuan saya akan keadilan tuhan itu masih hanya sebatas kata-kata. Dan karena pemahaman saya masih sebatas kata-kata itulah sehingga saya bisa membaginya dengan Anda.
Karena itulah mulai sekarang saya akan berhenti menjadi pencari hikmah. Di blog ini saya tidak lagi akan menuliskan pengalaman-pengalaman dengan hikmah-hikmah eksplisit. Sebaliknya, blog ini mulai saat ini hanya menjadi menjadi tempat saya menumpahkan isi kepala. Saya tidak mau lagi melabeli apapun yang saya tuliskan di sini dengan hikmah. Pokoknya apapun yang terlintas di kepala saya, dan saya berhasrat untuk menuliskannya, maka di blog inilah curahan isi kepala saya akan berlabuh.
Jadi, bagi Anda pengunjung setia blog ini (emang ada ya...?) mulai sekarang jangan berharap untuk mendapati postingan-postingan sok bijak. Saya jamin postingan-postingan semacam itu tidak akan lagi Anda dapati di sini karena mulai saat ini blog ini akan berubah. Ya, saya tidak mau lagi sok bijak. Di sini, saya akan menjadi diri sendiri seutuhnya. Kalo saya merasakan hidup saya berat dan saya ingin mengeluh, maka yang akan akan jumpai di sini adalah postingan keluhan. Kalo saya sedang marah pada keadaan ataupun pada diri sendiri, saya akan meluapkannya di sini. Begitu dech.....
Nah, karena pengalaman hidup yang menanjak dan penuh onak dan duri itulah akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi menjadi pencari hikmah. Apakah Anda bertanya mengapa? Hmm, jawabannya singkat. Karena, meskipun saya bisa mengambil hikmah dari segala yang terjadi pada diri saya, toh hikmah itu tidak menjadikan saya lebih bijak. Kok bisa? Iya bisa lah, masak ya bisa donk. Karena sejauh ini saya hanya rajin mencari hikmah tanpa mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Misalnya, saya tahu bahwa Tuhan itu maha adil. Saya meyakini itu. Tiap kali ada hal-hal tidak menyenangkan yang menimpa saya, saya selalu mengacu pada hikmah di atas yakni bahwa tuhan maha adil. Akan tetapi, tahukah Anda bahwa meski dengan pengakuan yang begitu tulus bahwa Tuhan maha Adil, toh tiap kali tertimpa masalah hati masih saya masih selalu bertanya-tanya "Kenapa Tuhan tidak adil? Kenapa tuhan tidak adil pada hambaNya yang mengakui bahwa Dia maha adil?" Begitulah. Jadi, pengetahuan saya akan keadilan tuhan itu masih hanya sebatas kata-kata. Dan karena pemahaman saya masih sebatas kata-kata itulah sehingga saya bisa membaginya dengan Anda.
Karena itulah mulai sekarang saya akan berhenti menjadi pencari hikmah. Di blog ini saya tidak lagi akan menuliskan pengalaman-pengalaman dengan hikmah-hikmah eksplisit. Sebaliknya, blog ini mulai saat ini hanya menjadi menjadi tempat saya menumpahkan isi kepala. Saya tidak mau lagi melabeli apapun yang saya tuliskan di sini dengan hikmah. Pokoknya apapun yang terlintas di kepala saya, dan saya berhasrat untuk menuliskannya, maka di blog inilah curahan isi kepala saya akan berlabuh.
Jadi, bagi Anda pengunjung setia blog ini (emang ada ya...?) mulai sekarang jangan berharap untuk mendapati postingan-postingan sok bijak. Saya jamin postingan-postingan semacam itu tidak akan lagi Anda dapati di sini karena mulai saat ini blog ini akan berubah. Ya, saya tidak mau lagi sok bijak. Di sini, saya akan menjadi diri sendiri seutuhnya. Kalo saya merasakan hidup saya berat dan saya ingin mengeluh, maka yang akan akan jumpai di sini adalah postingan keluhan. Kalo saya sedang marah pada keadaan ataupun pada diri sendiri, saya akan meluapkannya di sini. Begitu dech.....
Langganan:
Postingan (Atom)