03 Desember 2008

Si Bungsu yang Teraniaya

Biasanya, menjadi anak bungsu merupakan anugerah. Kenapa demikian? Anak bungsu umumnya menjadi anak kesayangan orang tuanya. Apapun yang dimaui, pasti dipenuhi. Apapun keinginannya, pasti dikabulkan. Bahkan, selain dari orang tua, si bungsu juga biasanya menjadi muara kasih sayang kakak-kakak yang telah terlahir dahulu. Intinya, menjadi anak bungsu adalah jaminan kebahagiaan.

Kenyataannya, tidak selamanya menjadi anak bungsu selalu menyenangkan. Bertolak belakang dari pandangan umum bahwa menjadi anak bungsu merupakan anugerah, sebenarnya terlahir paling akhir bisa jadi merupakan sebuah bencana. Kalo Anda tidak percaya, baiklah lanjutkan membaca postingan ini karena tulisan semacam ini hanya terdapat di sini. Kalo ada di tempat lain, berarti itu postingan copy paste dari blog ini (mode narsis ON :D)

Baiklah, saya tidak akan berpanjang lebar lagi. Akan saya upayakan untuk menjelaskan pendapat saya secara ringkas, padat, dan jelas. AKan tetapi, sebelumnya harus diingat bahwa yang akan saya tulis ini tidak berlaku umum. Ya seperti kata pepatah, di setiap teori pasti ada pengecualian.

Well, tapi saya kok capek banget ya...? Yawdah dech, bahasan tentang si bungsu yang teraniaya ini akan saya lanjutkan kapan-kapan saja biar lebih komprehensif. Ditunggu ya....

(Selang tiga hari kemudian)

Huff, rasanya dua hari sudah cukup bagi saya beristirahat. Kini tiba saatnya saya melanjutkan dan menyelesaikan tulisan ini. Siapa tahu ada yang sudah tidak sabar menunggu. (Narsis lagi... hehe).

Sebenarnya, banyak alasan yang saya miliki sehingga saya berkesimpulan bahwa menjadi anak bungsu tidaklah menyenangkan akan tetapi justru menyakitkan. Namun, di posting kali ini saya tidak akan mengemukakan semua alasan yang saya miliki. Dua alasan saja saya rasa sudah akan bisa meyakinkan Anda bahwa memang menjadi anak bungsu tidaklah semenyenangkan seperti yang Anda bayangkan selama ini.

Pertama, dalam sebuah keluarga dengan beberapa anak, anak bungsu pasti akan mendapatkan satu stigma yang tidak menyenangkan yakni selamanya ia akan dianggap kekanak-kanakan atau tidak dewasa. Stigma ini akan terus melekat pada anak bungsu mungkin hingga ajal menjemputnya (hihihi, tragis banget bahasanya. Ngeri sendiri saya membaca kalimat ini).

Lho, emangnya mendapat stigma kekanak-kanakan akan membuat hidup jadi tidak menyenangkan? Ya iya lah... stigma kekanak-kanakan akan membuat hidup kita jadi sangaaat tidak menyenangkan. Kenapa? Karena stigma ini akan menjadi awal dan alasan tindakan dan perlakuan tidak menyenangkan yang akan diterima si anak di masa yang akan datang baik dari keluarga sendiri (termasuk di dalamnya orang tua dan kakak-kakak) maupun dari orang lain.

Kok bisa demikian? Ya bisa lah... Sekarang coba Anda bayangkan. Jika Anda menganggap anak Anda atau adik Anda masih anak-anak, bagaimana perlakuan Anda pada anak atau adik Anda itu? Saya percaya, jawaban yang pertama kali akan Anda lontarkan adalah "saya akan menyayanginya sepenuh hati". Bagus, memang seorang anak kecil sangat membutuhkan kasih sayang orang tua dan kakak-kakaknya. Terus, kalo anak atau adik yang Anda anggap masih kecil itu punya keinginan yang berbeda dengan Anda, apa yang Anda lakukan? Kok diem? Bingung ya? Ayolah, ungkapkan saja isi pikiran Anda dengan jujur. Apa yang akan Anda lakukan jika kondisinya demikian?

Nah, itu dia. Itulah penjelasannya kenapa mendapat stigma tak pernah dewasa tidak menyenangkan. Karena dengan stigma demikian, hakikatnya sebagian atau lebih dari kemerdekaan seorang anak sudah terenggut. Kok saya bisa berkata demikian? Iya, karena saya yakin saat seorang anak atau adik yang Anda anggap masih kanak-kanak memiliki keinginan yang berbeda dari keinginan Anda, maka yang akan Anda lakukan adalah berusaha dengan berbagai cara agar si anak mau mengubah keinginannya dan menuruti keinginan Anda. Iya kan? Kenapa demikian? Karena saat Anda menganggap anak atau adik Anda masih belum dewasa, maka Anda pasti akan beranggapan bahwa dia belum bisa memilah antara yang baik dan buruk. Akibatnya, saat pilihan anak berbeda dengan pilihan Anda maka Anda pasti akan menyalahkan pilihannya dan membenarkan pilihan Anda. "Kan dia masih kanak-kanak, sedangkan aku sudah mengenyam asam garam kehidupan". Pasti begitu gumama Anda dalam hati. Benar begitu tho? Ayo ngaku...

Kedua, ada satu peraturan tak tertulis di masyarakat (khususnya masyarakat daerah tertentu. terutama di daerah K***s, hehehehe) bahwa anak bungsu berkewajiban menjaga orang tua. Nah, peraturan yang mewajibkan ini sangat-sangat-sangat tidak menyenangkan.

"Lho, ini alasan yang tidak bisa diterima. Ini alasan yang sama sekali tidak ada landasannya. Apapun alasannya, menjaga orang tua harus dilakukan dengan penuh keihlasan, tidak boleh menggerutu atau mengeluh karena orang tua juga telah menjaga kita saat kita masih bayi. Jadi menjaga orang tua khususnya saat mereka sudah tua memang sebuah kewajiban sekaligus cara kita membalas kebaikan mereka".

Saya yakin kebanyakan dari Anda akan menggerutu demikian dalam hati saat membaca alasan kedua yang saya kemukakan. Baiklah, saya tidak akan melarang Anda menggerutu. Tapi, sebelum Anda melanjutkan gerutuan, tolong dengarkan dulu penjelasan saya kenapa saya berpendapat demikian.

Begini, memang benar menjaga orang tua saat mereka sudah tua adalah salah satu cara untuk membalas kebaikan mereka pada kita. Saya setuju seratus persen dengan ini. Bahkan, saya berani menyatakan bahwa kebaikan yang kita lakukan dengan cara melayani mereka saat mereka sudah tua masih lah jauh dari kebaikan yang mereka lakukan pada kita. Jika seumur hidup pun kita mengabdi dan melayani mereka, itu belum seimbang dengan kebaikan yang telah mereka lakukan pada kita. (Puas???)

Jadi, saya tidak mempersoalkan kewajiban menjaga orang tua ini. Fokus saya adalah aturan tak tertulis tentang kewajiban ini yang seolah-olah 90 persennya hanya dibebankan pada anak bungsu. Ini yang tidak adil. Ini yang dzalim. Kok bisa? Iya, karena jelas bagaimanapun ini bukan hanya kewajiban anak bungsu. Menjaga dan melayani orang tua adalah hak dan kewajiban semua anak termasuk anak sulung, anak tengah, anak setengah tengah dan anak bungsu. Maka, membebankan kewajiban ini hanya pada anak bungsu, apalagi dengan alasan agama jelas merupakan tindakan tak adil yang merampas hak-hak anak bungsu.

Masih bingung dengan alasan kedua ini? Baiklah, akan saya perjelas dengan contoh. Bayangkan, Anda adalah anak sulung, atau anak kedua, atau anak ketiga (pokoknya jangan anak bungsu) dari sebuah keluarga. Bayangkan, suatu saat Anda jatuh cinta pada seseorang yang kebetulan berasal dari luar kota. Anda sangat mencintai dia dan diapun mencintai Anda. Dia mau menikah dengan Anda akan tetapi tidak bisa tinggal bersama dengan orang tua Anda karena pekerjaannya di luar kota. Nah, pada saat demikian apa yang akan Anda lakukan? Saya yakin Anda akan menerima syarat itu dan melanjutkan niat Anda untuk menikah dengan orang yang Anda cintai itu meski setelah menikah Anda berdua tidak lagi harus bersama dengan Orang tua Anda. Kenapa Anda berani mengambil keputusan semacam ini? Lagi-lagi saya yakin karena Anda merasa tidak berkewajiban untuk menjaga orang tua. "Toh, masih ada adik saya". Saya yakin Anda berpikir demikian. AYo ngaku.....

Sekarang, bayangkan Anda dan adik-adik Anda selain si bungsu sudah menikah dan keluar dari rumah orang tua (meskipun tidak keluar kota). Suatu ketika adik bungsu Anda jatuh cinta pada seseorang yang juga berasal dari luar kota dan kerjanya pun di luar kota. Adik Anda sangat mencintai orang itu dan begitu pula sebaliknya. Dan mereka pun siap untuk menikah. Nah, sebagai kakak, apa yang akan Anda lakukan dalam keadaan demikian? Apakah Anda akan dengan serta merta menyetujui pilihan Adik bungsu Anda itu?

Nah, iya kan? Anda pasti tidak akan begitu saja menyetujui pilihan adik bungsu Anda. Jika Anda seorang yang ekstrim, bisa jadi Anda akan secara mentah-mentah menolak pilihan Adik Anda itu. Anda mungkin akan berargumen ini itu untuk menguatkan penolakan Anda dan agar terdengar rasional. Padahal, saya yakin di dalam hati Anda takut jika adik Anda jadi menikah dengan orang luar kota, maka bisa jadi dia ikut keluar kota. "Kalau demikian, siapa yang akan menjaga orang tua". Pasti, Anda berpikir demikian. Ngaku-ngaku.... (hehehehe)

Pertanyaannya, jika Anda boleh memutuskan untuk menikah dengan seseorang dan kemudian meninggalkan rumah, kenapa Anda melarang adik bungsu Anda untuk melakukan hal yang sama? "Lho, dia akan anak bungsu. Dia harus menjaga orang tua" Nah, ketahuan kan alasan Anda. Berarti benar kan bahwa menjadi anak bungsu tidak menyenangkan karena ia dibebani oleh kakak-kakak dan masyarakat sekitarnya untuk memikul tanggung jawab menjaga orang tua.

Udah ah, cukup segitu dulu postingan kali ini. Kalo, tidak sepakat dengan pendapat saya, silakan kasih komentar.... Bye....

13 komentar:

  1. Ehm!

    Sixteen hours seems enough to start your mind. waiting for commenting!!

    BalasHapus
  2. apa bener zun, kalo anak bungsu bisa dapat jaminan kebahagiaan? kalo saya rasa sama saja, saya sudah merasakan, kadang ada bahagianya juga kita tidak luput dari susahnya

    BalasHapus
  3. i'm super happy for you, brother! do amazing stuffs, amaze all!

    BalasHapus
  4. waduh.....kayaknya jadi anak bungsu itu masalah besar (besar sekali malah)ya pak? untungnya saya bukan anak bungsu....he

    BalasHapus
  5. @Adin: Thanks pak Adin, tuch akhirnya si bungsu yang teraniayanya udah siap dikomentari...:)

    @AA' JEERO: Wah, kayaknya mas Jeero ini harus baca lagi dengan lebih teliti dech. Kan udah jelas ditulis kalo justru tulisan ini membahas tidak enaknya jadi anak bungsu, bukan senangnya :)

    @Si Pemimpi: I'm still here, mas. Just abandoning this wisdom seeking blog for a moment and now I'm ready to seek for other wisdoms. :D. Thanks for supporting me so far brutha...:D

    @AhsanulKarom: Hahaha, bukannya masalah mas, tapi kadang menimbulkan masalah :D

    BalasHapus
  6. Bukankan setiap Kejadian ada hikmahnya?? (kayak prinsip U).. dengan begitu, jadi anak Bungsu, pasti dan pasti ada hikmahnya. So It's No Problem Man..!!

    BalasHapus
  7. satu lagi... bukankan keberadaan sesuatu karna ada sesuatu yang lain. seperti ini, tidak mungkin ada anak sulung kalau tidak ada anak bungsu. ya tho?? he2.. jadi dalam hidup... perlulah adanya komplementer itu... Hidup jadi lebih hidup,,!!

    BalasHapus
  8. @Iskarim: Coba dech mas Iskarim baca lagi paragraf kedua. "Kenyataannya, tidak selamanya menjadi anak bungsu selalu menyenangkan. Bertolak belakang dari pandangan umum bahwa menjadi anak bungsu merupakan anugerah, sebenarnya terlahir paling akhir bisa jadi merupakan sebuah bencana".
    Jelaskan? Jadi anak bungsu emang ada senang dan ada susahnya. Hanya saja, tulisan ini memang difokuskan untuk membahas susahnya menjadi anak bungsu, gitu..
    Anyway, thanks for visiting... Gimana kabarnya di Jogja saya? :D

    BalasHapus
  9. ya alhamdulillah baik-baik.

    oh gitu tho...

    (maaf) setelah saya baca tulisan dari kang izun, di dalamnya lebih tersirat nuansa ego yang lebih mendalam. maksudnya, sebuah pengalaman pribadi terasa sekali di setiap alur pembicaraannya. padahal sebenarnya ketika kang izun mau berempati dengan menggunakan sudat pandang orang lain (anak bungsu yang bahagia-red) maka tulisan ini akan menjadi sebuah paket yang sempurna dan menjadi rujukan yang komprehensif. (duuhh.. seriusnya, he2..). hal ini sesuai dengan pandangan kang izun (dan juga mungkin pandangan orang lain), bahwa menjadi anak bungsu ada senang dan ada susuhnya. nah, di sinilah perlunya kang izun berempati.

    it's the effect, ketika si pembaca adalah kebetulan anak bungsu yang bahagia, pasti 100% dia akan menolak tulisan ini. sebaliknya, ketika si pembaca adalah anak bungsu yang bernasib sama seperti apa yang telah dipaparkan kang izun, tidak mustahil dia akan 100% menjadi sekutu kang izun (hee2...).

    maaf kalau salah berkomentar,,, gimana, ambil PNS-nya or Dosen-nya (meski belum PNS)he2....

    BalasHapus
  10. dan.....

    jadi....

    SANGAT KU TUNGGU, LANJUTANNYA..!! (MENJADI ANAK BUNGSU YANG PALING BAHAGIA, DAN PALING MEMBAHAGIAKAN)

    OKEY?

    BalasHapus
  11. itu mas bener sekali
    yang paling nyesek yah, ketika kita dalam lingkup keluarga menengah ke bawah apa lagi orang tua kita bukan seorang yang punya, biasa nya anak bungsu itu tidak kumanan ( istilah jawa yang arti nya kebagian ) jaya nya orang tua. maka setelah itu untuk kedepan nya anak bungsu akan menjadi tanggung jawab kakak kakak nya, ketika kakak kakak nya masih bujang atau belum berkeluarga it's no problem, but ketika mereka sudah berkeluarga???? everything changes..!!!! dan saya harus membantu orang tua saya bekerja buat makan dan sekolah, sedangkan dulu kakak kakak saya tidak pernah melakukan hal sedemikian rupa..

    salam kenal mas2 sekalian :)

    BalasHapus
  12. Assalamualaikum,,Salam sehat selalu smua,,pas banget nich permasalahannya si bungsu yang teraniaya,,sebagai adik harusnya nyaman julukan si bungsu tapi kenyataan tak senikmat julukan si bungsu. semoga bsa tumbuh sebagai insan yg mandiri yg pnya pendirian teguh dan gak seperti si sulung yg hanya bsanya merampas hak2 si bungsu.semangat n jalanin dengan sebagai insan yg bsa jadi org panutan si sulung,,klo si bungsu lebih ngayomi daripada si sulung yg bsanya merengek kpd org tua,sip dan trimakasih. Wasalam

    BalasHapus

Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).