Akhir-akhir ini tiap jam tujuh malam saya seringkali menghentikan laju remote control televisi saya di stasiun yang motonya “makin
Televisi yang namanya amat mulia, tapi sayang program-programnya belum semulia namanya. (Mungkin karena menyadari kurang mulia program tayangannya itu pengelola stasiun ini sekarang jarang menyebutkan kepanjangan dari namanya, TPI. Sebagai gantinya, mereka mengganti kata pendidikan dengan kata keluarga. Maka jadilah sebutan TPI: televisi keluarga Indonesia.)
Tiap pukul tujuh malam di channel ini saya temukan sajian yang mau tidak mau membuat saya tidak ingin ke mana-mana. Dangdut Mania dan KDI. Dua acara inilah yang telah memaksa saya berhenti memencet remote kontrol (padahal biasanya tidak ada channel televisi yang saya pelototi lebih dari 10 menit dan di dua acara ini saya harus merelakan waktu untuk duduk dan memelototi TV selama kurang lebih 1 jam hingga jeda iklan. Luar biasa kan?)
Anda tentu bertanya kenapa saya sampai seterpikat itu dengan tayangan yang satu ini. Setidaknya saya 3 jawaban:
Pertama, harus saya akui musik dangdut adalah musik favorit saya. Saya tentu tidak bisa memberikan penjelasan ilmiah kenapa musik yang satu ini harus menjadi yang paling saya sukai. Saya hanya bisa mengatakan mungkin: mungkin dangdutlah yang saya dengar ketika dilahirkan, mungkin musik dangdut lah yang selalu dinyanyikan oleh ibu saat mengandung saya, Mungkin pula ibu ngidam memukul gendang dan meniup seruling saat saya di kandungan. Ya, mungkin saja. Yang pasti, saat mendengarkan musik yang satu ini jiwa saya seperti terserap dalam alunan nada-nadanya.
Kedua, acara ini berbeda dari kontes-kontes lain yang ada. Tantangan yang diberikan (khususnya dalam acara Dangdut Mania) begitu menarik dan sangat sulit. Bayangkan, seorang kontestan ditantang tampil di hadapan penonton (dan disiarkan secara langsung ke seluruh nusantara) untuk menyanyikan lagu yang tidak ia antisipasi sebelumnya. Ini tentu merupakan tantangan yang sangat sulit. Kalau si kontestan tidak benar-benar pencinta musik dangdut, tentu ia akan gelagapan oleh tantangan ini. Maka, melihat ketegangan (atau kesiapan) kontestan menghadapi tantangan ini sungguh memberikan keasyikan tersendiri pada saya tak peduli apakah akhirnya ia bisa mengatasi tantangan itu atau tidak.
Alasan ketiga saya menghentikan pencetan pada remote kontrol untuk menonton TPI adalah Bertha. Iya, Bertha. Benar, Bertha yang kabarnya guru vokalnya sebagian besar penyanyi pop Indonesia itu. Di dalam acara itu dia berperan sebagai komentator. Apakah Bertha tampil cantik dan menarik? Tidak. Ia tampil seperti biasa. Ia tidak bertambah langsing. Masih gem** seperti dulu. Tapi tentu bukan Bertha namanya kalau tidak tampil PD. Sangat PeDe malah.
Bagi saya sangat asyik melihat Bertha mengomentari kemampuan vokal setiap peserta dalam kedua kontes itu, Dangdut Mania dan KDI. Bagi saya, dia adalah orang yang jujur dan tidak suka bertele-tele. Jika menurutnya seorang kontestan memiliki kemampuan vokal yang buruk, ia dengan sangat terus terang dengan bahasa yang tidak berputar-putar akan mengatakan bahwa kemampuan vokal si kontestan payah. Sebaliknya, jika menurutnya seorang kontestan memiliki kemampuan vokal bagus, dia tidak akan sungkan memujinya setinggi langit. Keberterusterangan Bertha itulah yang membuat saya menyukai acara ini. Maka, saat Bertha menjelek-jelekkan ataupun saat ia menyanjung seorang kontestan bagi saya sama-sama enak untuk ditonton.
Nah, agar Anda percaya bahwa kedua acara yang saya sebutkan di atas patut untuk ditonton, tiap pukul tujuh malam jangan malu-malu pindahlah channel TV Anda ke TPI yang makin asyik aja....He-he-he....
huhuhu aku agak gak setuju nih.. siaran tv belakangan ini emang kurang variatif dan cenderung malah ikut2an tayangan tetangga yang lagi daun. kalo smua jadi kek gitu, kan bosen jugaa...
BalasHapus:(