26 Mei 2008

Pelajaran dari Ksatria Bergitar

Pesan sponsor, "Apapun makanannya, minumannya tetap Air".

Yach begitulah, apapun yang kita makan, kita tetap butuh hal yang sama setelah itu, yakni air. Tanpa air, rasanya apa saja kita makan tidak lagi terasa menyenangkan. Bisa jadi malah menyiksa kerongkongan dan perut kita. Apalagi kalau makanannya pedas. Uh, pasti deh air adalah keharusan.

Nah, kalau air adalah keharusan setelah makan, maka terkait dengan pekerjaan, agar pekerjaan itu menghasilkan dan menyenangkan serta menjadi andalan, ada juga satu keharusan yang harus dipenuhi. Apa itu? Biar Anda penasaran, biarkan terlebih dahulu saya bercerita mengenai pengalaman saya berhadapan dengan ksatria bergitar di sebuah terminal.

Eit! Tunggu dulu. Jangan dikira sang ksatria yang satu ini sama dengan ksatria yang sebelumnya sudah saya ceritakan. Itu tuh, sang ksatria bergitar yang tubuhnya dipenuhi tato yang menyadarkan saya bahwa saya masih belum bisa lulus ujian untuk senantiasa berbaik sangka. Ksatria yang satu ini beda. Bukan orang yang sama.

Anda mungkin berpikir dalam hati, "kok pencari hikmah ini belajarnya dari para pengamen sih?". Yach, sebagai pencari hikmah saya memang harus bisa mengambil pelajaran dari manapun, apapun, dan siapapun. Dan termasuk dalam katergori siapapun ini ya si pengamen. Dan, benar memang seringkali saya mendapatkan pelajaran saat ketemu pengamen.

Pernah suatu suatu ketika saya naik bis dan menumpanglah seorang pengamen dengan menenteng gitarnya. Perawakannya seperti seorang bintang film. Ganteng. Juga kekar, yach... kira-kira seperti George Rudy yang dulu pernah memerankan prabu Brama Kumbara di TPI. Tahu kan, ganteng, tinggi, gagah, kekar. Pokoknya semua yang baik-baik ada padanya. Tetapi, oh my godness, saat dia mulai memainkan gitar dan membuka mulut untuk bersenandung, gendang telingan saya ini terasa sangat sakit sehingga saya secara terang-terangan menutupi kedua kuping saya ini. Kenapa coba? Benar, dia tidak bisa memainkan gitarnya dengan benar. Asal genjreng saja seperti saat keponakan saya yang masih kecil memainkan gitarnya. Tapi, telinga saya sakit bukan hanya karena itu. Yang lebih mendorong saya untuk menutup kedua kuping saya adalah karena si pangamen tadi ternyata gagu, bisu. Bayangkan, sudah suara gitarnya sumbang minta ampun, ditambah nyanyian yang dibawakan bukanlah nyanyian. Hanya gremengan, atau teriakan-teriakan tak jelas nadanya. Benar-benar membikin telinga sakit dalam arti literal.

Nah, saat melihat si pengamen tadi saya berpkir bahwa seharusnya kita bekerja itu yang melihat-lihat kemampuan dan keterbatasan kita. Lucu kan, kalau seorang yang bisu (dalam arti yang sebenarnya) memaksakan diri untuk mencari uang dengan cara mengamen. Ya, harusnya kan orang yang bersikeras mencari uang dengan cara ngamen haruslah orang yang 1) bisa memainkan alat musik dengan baik, dan 2) bisa menyanyi dengan bagus, tanpa nada sumbang. Si pengamen yang barusan itu jelas-jelas tidak memenuhi kedua syarat di atas. Lha kok tetap maksa mencari nafkah dengan mengamen. Ini namanya tidak bisa menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Kata guru ngaji saya, orang yang tidak bisa menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya itu adalah orang yang dzalim. Dalam kasus pengamen tadi, dia tidak hanya menzalimi diri sendiri akan tetapi juga menzalimi orang lain.

P.S. Postingan berikutnya akan membahas tentang pengamen yang kehadirannya dinanti-nanti.
       Tunggu saja!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).