25 Mei 2008

Buruk Sangka

“Jangan lihat buku dari kovernya” itu kata pepatah. “Jangan lihat orang dari kasingnya” itu kata Tukul Arwana. “Jangan menilai orang hanya dari penampilan fisiknya” Itu kata saya. Mana di antara ketiga kata-kata itu menurut Anda yang paling benar? Yang paling benar ya ketiga-tiganya. Lha wong arti semuanya sama. Ya maksudnya seperti kata saya di atas, jangan menilai orang hanya dari penampilan fisiknya.

Saya yakin sebagian besar dari kita, atau bahkan kita semuanya sudah pernah mendengar dan mengerti nasehat kata-kata bijak ini. Setidaknya sedari SD kita telah diajari oleh bapak/ibu/saudara/saudari guru kita (coret yang tidak perlu) bahwa penampilan fisik tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan hati seseorang. Ya, meskipun para motivator juga sering kali menasehati kita jika ingin mengubah kepribadian maka pertama-tama yang harus diubah adalah penampilan. Tapi, saya cenderung lebih setuju dengan yang pertama tadi bahwa penampilan bukanlah patokan kepribadian.

Nah, saudara-saudara sekalian, meskipun kita semua telah pernah mendengar serta telah mengerti maksud dari kata-kata bijak itu, akan tetapi sebagian besar dari kita jarang sekali mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan saya juga termasuk dari sebagian besar orang itu. Meski sudah tahu setahu-tahunya, dan sudah paham sepaham-pahamnya kata-kata bijak itu, toh ketika diuji untuk mempraktikkannya, saya masih belum lulus. Saya gagal untuk berpikir positif terhadap orang di hadapan saya bagaimanapun bentuknya. Sebaliknya, saya malah terjebak dalam buruk sangka yang pada akhirnya harus saya sesali saat mengetahui pikiran negatif saya itu ternyata salah.

Begini ceritanya, suatu hari saat saya harus pergi keluar kota naik bis umum (hahaha, tidak berarti saya biasanya naik mobil pribadi lho ya), seperti layaknya bis lain, di tengah perjalanan ada seorang ksatria bergitar (pengamen - red.) masuk ke bis yang saya tumpangi. Nah, pada saat inilah pikiran negatif saya pada si ksatria tadi mulai bekerja. Setidaknya ada tiga pikiran buruk saya pada sang ksatria. Pertama, dia pasti sebenarnya tidak bisa memainkan gitar dengan baik. Yang kedua, meski dia bisa bermain gitar dengan baik, tentu dia hanya bisa menyanyikan lagu-lagu yang liriknya nggak bermutu, apalagi lirik-lirik yang religius. Dan, yang ketiga, dia pasti akan meminta dengan cara memaksa pada para penumpang untuk memberikan recehan.

Saudara-saudara, tidak dengan sendirinya sangkaan buruk saya itu mengganggu pikiran saya. Ada yang membangkitkannya hingga saya berpikir demikian. Dan, tahukah saudara-saudara sekalian, yang membangkitkan sangkaan buruk saya pada si ksatria tadi adalah penampilannya. Bayangkan saja, si ksatria tadi hampir seluruh tubuhnya dipenuhi oleh tato. Memang sih bukan semua bagian tubuhnya bertato. Saya hanya ingin mengatakan bahwa tatonya banyak dan gambarnya serta tulisannya pun sangar. Nah, dalam budaya Indonesia yang kalem ini, kalau kita melihat orang dengan penampilan semacam itu tentu tidak terlalu salah jika kemudian kita memiliki pikiran buruk pada orang itu. Kenyataannya kan memang tato sering kali dipakai oleh mereka yang disebut preman dan tato juga seringkali memang digunakan sebagai simbol kekerasan. Jadi, wajar lah kalau saya berburuk sangka pada beliaunya.

Tapi, apakah ketiga sangkaan buruk di atas tadi terbukti. Ternyata eh ternyata, saat si ksatria mulai memainkan jarinya pada senar gitar, sangkaan buruk pertama saya terpatahkan. Dia bisa memainkan gitarnya dengan cukup apik. Terbukti saya terbawa oleh alunan nada-nada yang dimainkannya. Kemudian, saat dia mulai membuka suara untuk menyanyi, terbukti pula lah bahwa sangkaan buruk kedua saya juga keliru. Yang keluar dari mulutnya adalah sebuah lagu religius. Yah, seperti lirik taubatnya seorang preman. Kira-kira begini liriknya
  
    Gema adzan subuh, aku ketiduran. Gema adzan dzuhur, aku         sibuk bekerja. …… Pantaskah surga untukku?!”

Nah loh, tidak seperti yang saya bayangkan to? Dan, selanjutnya saat lagu yang dinyanyikan sudah usai dan tiba saatnya bagi si ksatria untuk meminta imbalan, sungguh kata-kata yang diucapkannya sanggup meluluhlantakkan sangkaan buruk saya yang ketiga. Dengan sangat sopan si ksatria memohon pada semua penumpang untuk bisa memberikan recehan seikhlasnya. Dan, saat ada penumpang yang tidak memberinya recehan, dia tidak menampakkan wajah kecewa. Hanya satu kata yang terucap dari mulutnya “Nggih, matur nuwun”

Hahaha, lagi-lagi saya tidak lulus ujian untuk tidak menilai orang dari penampilannya. Capek dech!

3 komentar:

  1. susah emang untuk berbaik sangka... apalagi kalo emang covernya sangat2 susah untuk dibaiksangkain (duh koq jadi ribet ya bahasanya)
    :)

    BalasHapus
  2. hei... itu lagu kegemaran saya bung...

    BalasHapus
  3. amboi... jantung melayu saya langsung berdebar begitu mendengar lagu itu

    BalasHapus

Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).