19 Maret 2008

Menggunakan Kelemahan Secara Menguntungkan

Kalau anda pernah berhadapan dengan orang yang (menurut anda) memiliki segalanya, pastinya anda juga pernah merasakan grogi dan tidak percaya diri dengan apa yang anda katakan atau bahkan yang anda pikirkan. Nah, seperti itulah yang saat sekarang ini sering kali saya rasakan. Dan memang benar, penyebabnya adalah saya selalu merasa bahwa orang yang saya hadapi adalah orang yang memiliki segala sesuatunya di atas saya. Maka, jadilah saya orang yang tidak percaya diri dan tidak berani menyatakan pendapat karena perasaan saya mendorong saya untuk percaya bahwa apa yang dia katakan selalu benar sedangkan yang saya pikirkan (hanya pikirkan) selalu salah.

Mungkin anda berpikir bahwa kemudian saya jadi tidak berani berbuat apa-apa di hadapan orang seperti itu. Jika demikian yang anda pikirkan, sepertinya saya harus memberi nilai nol besar pada anda. Sebab, meski saya merasa tidak percaya diri di hadapan orang seperti itu, tidak berarti saya jadi tidak berbuat apa-apa untuk menutupi perasaan saya tersebut. Kenyataannya, saya justru senang bersama orang berkualitas seperti itu karena pikiran-pikirannya akan demikian mudahnya masuk ke dalam otak saya yang kadang sulit dimasuki pikiran-pikiran baru. Kalau sudah demikian, maka saya akan mendapat banyak pelajaran dari orang di hadapan saya.

Kok bisa demikian? Bagaimana bisa saya belajar banyak dari orang lain sementara dalam hati saya tidak merasa percaya diri?

Well, yang saya lakukan untuk bisa demikian sangatlah sederhana. Saya tidak menggunakan trik langka yang hanya ditulis di dalam buku-buku tebal karya cendikiawan barat dengan harga selangit. Saya hanya menuruti kata-kata salah satu tentangga saya. Apa gerangan kata-kata tetangga saya sehingga bisa membuat saya menempatkan diri pada posisi yang demikian menguntungkan meski sebetulnya perasaan saya sedemikian tersudutkan?

Tidak banyak. Bukan kata-kata mutiara. Ia hanya menyatakan dengan lugunya bahwa kadang kelemahan kita adalah kelebihan kita yang tidak bisa diungguli oleh siapapun. Nah, bermodalkan nasehat itu saya kemudian menerjemahkannya dalam tindakan. Mungkin saja interpretasi saya atas nasehat itu terlalu literal bagi sebagian orang. Akan tetapi, saya benar-benar merasakan manfaatnya. Saya menerjemahkan nasehat itu demikian: kalau kita merasa lemah di hadapan seseorang, maka jangan coba-coba menyembunyikan kelemahan kita dengan mengatakan hal-hal di luar jangkauan kita hanya dengan maksud menunjukkan bahwa kita memiliki kelebihan. Sebaliknya, yang harus kita lakukan hanyalah menunjukkan dengan tulus kelemahan kita kepada orang yang kita ajak bicara. Selain itu, perlihatkan juga pada lawan bicara kita bahwa ia memiliki kualitas unggul (dari pada kita) sehingga amat wajar kalau kita mencuri pengetahuan dari dia. Intinya, tempatkan diri kita di bawah lawan bicara kita, maka otomatis ilmu dari orang tersebut akan mengalir kepada kita dengan lancar. Bukankah air hanya akan mengalir ke tempat yang lebih rendah?

Nah, strategi yang demikian itu yang saya sebut berlindung di balik kelemahan diri sendiri. Saya menyebutnya demikian karena dengan jujur akan perasaan kita mengenai kelebihan yang dimiliki lawan bicara kita dan atas kelemahan kita sendiri justru akan melindungi kita dari perasaan malu yang mungkin saja kita rasakan jika kita berusaha menutupi kelemahan kita tersebut dengan retorika muluk-muluk tapi penuh omong kosong. Maka, bagi saya jujur mengenai perasaan kita, meskipun kejujuran itu juga bukan berarti menunjukkan yang sebenarnya, adalah jauh lebih baik dari pada menutupi perasaan kita dengan kebohongan-kebohongan.

Blogged with the Flock Browser

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).