31 Maret 2008

Karena Selebritis, Meski Sumbang Tetap Kita Dengarkan...

Saat ini ada tiga orang yang ketika sedang bersama-sama mau tidak mau orang yang melihat mereka harus tertawa. Meskipun ketika sendiri ketiga orang itu tetap lucu, hanya saat bersama lah ketiganya memikat semua penontonnya. Kira-kira siapakah tiga orang itu? Mereka adalah Eko Patrio, Ruben Onsu, dan Madam/Nona Igun.

Siapa pun Anda asal sering menghentikan laju perpindahan remote TV anda di stasiun TV berlambang Ikan terbang pasti kenal mereka. Saat ini mereka hampir setiap hari memandu acara pencarian bakat (?) penyanyi di TV tersebut. Meskipun sebenarnya tidak hanya tiga orang itu saja yang mengisi acara tersebut (selain mereka masih ada lagi dua orang komentator juga seratus juri votelock) namun ketika acara telah mulai jelas terlihat ketiga orang itulah yang menjadi pemilik acara ini. Saking pentingnya mereka, seolah-olah kalau acara tersebut ditayangkan tanpa salah satu dari ketiga orang tersebut maka acara itu tidak lagi menyenangkan untuk ditonton. Yach, mungkin sama pentingnya dengan Tukul Arwana di acara Empat Mata, atau Indra Bekti dan Indi Barend di Ceriwis, atau mungkin malah sepenting Oprah Winfrey dalam acara Oprah Show.

Tapi, biarlah ketiga orang itu dianggap penting atau merasa penting. Dalam pencarian hikmah kali saya tidak akan membicarakan mereka. Mungkin nanti akan nyerempet mereka. Tapi saya janji mereka hanya akan saya serempet tidak akan saya tabrak.

Baiklah, sebelum membahas lebih jauh tentang topik ini akan saya jelaskan terlebih dahulu acara apa yang digawangi ketiga orang itu. Acara tersebut adalah adaptasi dari acara Mama Mia yang sudah meraup cukup sukses. Anda tentu tahu apa itu Mama Mia. Ya, ia adalah acara pencarian bakat penyanyi (tanpa tanda tanya) sekaligus juga manajernya yang harus ibu dari si berbakat. Tidak perlu saya jelaskan prosesnya, yang jelas acara ini menyedot cukup banyak perhatian pemirsa TV. Malah, bisa dikatakan acara ini menjadi satu-satunya acara berrating tinggi dari stasiun bersagkutan.

Karena kesuksesan yang diraih oleh acara Mama Mia itulah maka stasiun TV berlogo ikan terbang mengadaptasikan ke berbagai format acara. Untuk versi dangdut, dibuatlah acara Stardut dengan format acara yang tidak jauh berbeda dari Mama Mia. Sama seperti Mama Mia, Stardut juga berhasil menarik perhatian pemirsa. Maka, saat kedua acara itu usai stasiun bersangkutan ternyata tidak rela melepaskan perhatian penonton. Stasiun ini membuat acara adaptasi lainnya. Kali ini, acara yang dibuat tersebut diberi nama Super Mama.

Sebenarnya program Super Mama tidak berbeda dari kedua acara pendahulunya. Hanya saja ada satu perbedaan yang sangat mencolok. Yakni, peserta acara ini adalah selebritis-selebritis kondang tanah air beserta mama-mama mereka. Maka, tak ayal faktor inilah yang membuat acara Super Mama mampu menyedot perhatian pemirsa. Wajar jika pemirsa penasaran dengan kemampuan vokal para selebritis yang menjadi peserta. Wajar juga kalau kemudian para pemirsa rela duduk berjam-jam untuk menikmati penampilan para selebritis itu meski mereka sadar bagaimanapun kemampuan vokal mereka tidak akan mampu menyaingi vokal penyanyi Indonesia sungguhan. Meskipun mereka sadar penampilan para selebritis itu tidak akan lebih baik dari pada penampilan peserta konten pencarian bakat lain seperti Indonesian Idol. Meskipun mereka sadar bahwa aksi panggung para selebritis peserta itu pun tidak lebih bermutu dari penampilan penyanyi kafe dan penyanyi dangdut di kampung-kampung. Toh, karena para selebritis sudah terlanjur dikenal dan sebagian terlanjur dijadikan idola, maka meski suara mereka sumbang, penampilan mereka tidak istimewa, dan aksi panggung mereka membosankan, pemirsa tetap mau duduk berlama-lama menonton mereka.

Maka, jika Anda ingin tetap PeDe bernyanyi meski dengan suara tak karuan, jadilah selebritis...

25 Maret 2008

Antara Cangkul dan Kalkulator

Bagi seorang pedagang sebuah cangkul mungkin sama sekali tidak berarti dan berguna. Baginya yang lebih berguna adalah kalkulator dan timbangan karena kedua benda itu bisa memudahkan tugasnya dalam menjual barang dan menghitung harga. Sehingga apabila disuruh untuk memilih antara kedua kelompok barang tersebut dia pasti akan menjatuhkan pilihannya pada kelompok barang kedua, yakni kalkulator dan timbangan. Dia tentu tidak akan memilih cangkul karena barang ini tidak bisa membantu melancarkan pekerjaannya sebagai pedagang. Bahkan meskipun diberi secara gratis, dia mungkin tidak akan mau menerima cangkul pemberian itu.

Sebaliknya, bagi seorang petani cangkul tentulah jauh lebih berarti dari pada kalkulator dan timbangan. Baginya cangkul bisa mendatangkan uang. Dengan cangkul ia bisa mengolah sawah. Dengan cangkul ia bisa menanam tanaman yang kelak bisa dipetik hasilnya. Tapi apa yang akan ia dapat jika dia memilih kalkulator atau timbangan? Pak tani tentu akan berpikir bahwa meskipun bisa dipakai untuk menghitung biaya pengolahan dan untuk memperhitungkan hasil panennya, kedua benda itu tetap tidak akan berguna jika yang akan dihitung dan ditimbang tidak ada. Dengan kata lain, bagaimanapun juga dalam pandangan seorang petani alat untuk menumbuhkan tanaman jauh lebih berguna dari pada alat untuk menghitung hasil jerih payahnya.

Maka, si pedagang tidak boleh memaksakan pendapatnya bahwa kalkulator lebih berguna dari pada cangkul. Begitu pula sebaliknya, pak tani tidak boleh ngotot dan memaksa bahwa cangkul lebih berarti dari pada kalkulator. Jika ini terjadi maka bisa dipastikan pertengkaran tidak bisa dihindarkan.

Dari masalah cangkul dan kalkulator di atas bisa kita tarik kesimpulan bahwa belum tentu sesuatu yang dianggap penting oleh seseorang akan dipandang penting juga oleh orang lain. Sesuatu yang dianggap berguna oleh seseorang belum tentu dipandang berguna oleh orang lainnya. Karena pandangan seseorang mengenai penting tidaknya sesuatu dipengaruhi berbagai faktor. Dan faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan seseorang sering kali berbeda satu dengan lainnya. Sebagai konsekwensinya kita tidak boleh memaksakan pandangan dan penilaian kita terhadap sesuatu kepada orang lain. Yang bisa kita lakukan hanyalah sebatas menjelaskan alasan-alasan penilaian kita terhadap sesuatu kepada orang lain dan bukannya mengharuskan orang lain untuk memandang sesuatu dengan cara sama seperti kita. Sehingga, apakah orang lain akan mengikuti cara pandang kita atau tidak pada akhirnya akan tergantung pada apakah penjelasan kita bisa diterima dan diyakini oleh mereka atau tidak.

      

19 Maret 2008

Menggunakan Kelemahan Secara Menguntungkan

Kalau anda pernah berhadapan dengan orang yang (menurut anda) memiliki segalanya, pastinya anda juga pernah merasakan grogi dan tidak percaya diri dengan apa yang anda katakan atau bahkan yang anda pikirkan. Nah, seperti itulah yang saat sekarang ini sering kali saya rasakan. Dan memang benar, penyebabnya adalah saya selalu merasa bahwa orang yang saya hadapi adalah orang yang memiliki segala sesuatunya di atas saya. Maka, jadilah saya orang yang tidak percaya diri dan tidak berani menyatakan pendapat karena perasaan saya mendorong saya untuk percaya bahwa apa yang dia katakan selalu benar sedangkan yang saya pikirkan (hanya pikirkan) selalu salah.

Mungkin anda berpikir bahwa kemudian saya jadi tidak berani berbuat apa-apa di hadapan orang seperti itu. Jika demikian yang anda pikirkan, sepertinya saya harus memberi nilai nol besar pada anda. Sebab, meski saya merasa tidak percaya diri di hadapan orang seperti itu, tidak berarti saya jadi tidak berbuat apa-apa untuk menutupi perasaan saya tersebut. Kenyataannya, saya justru senang bersama orang berkualitas seperti itu karena pikiran-pikirannya akan demikian mudahnya masuk ke dalam otak saya yang kadang sulit dimasuki pikiran-pikiran baru. Kalau sudah demikian, maka saya akan mendapat banyak pelajaran dari orang di hadapan saya.

Kok bisa demikian? Bagaimana bisa saya belajar banyak dari orang lain sementara dalam hati saya tidak merasa percaya diri?

Well, yang saya lakukan untuk bisa demikian sangatlah sederhana. Saya tidak menggunakan trik langka yang hanya ditulis di dalam buku-buku tebal karya cendikiawan barat dengan harga selangit. Saya hanya menuruti kata-kata salah satu tentangga saya. Apa gerangan kata-kata tetangga saya sehingga bisa membuat saya menempatkan diri pada posisi yang demikian menguntungkan meski sebetulnya perasaan saya sedemikian tersudutkan?

Tidak banyak. Bukan kata-kata mutiara. Ia hanya menyatakan dengan lugunya bahwa kadang kelemahan kita adalah kelebihan kita yang tidak bisa diungguli oleh siapapun. Nah, bermodalkan nasehat itu saya kemudian menerjemahkannya dalam tindakan. Mungkin saja interpretasi saya atas nasehat itu terlalu literal bagi sebagian orang. Akan tetapi, saya benar-benar merasakan manfaatnya. Saya menerjemahkan nasehat itu demikian: kalau kita merasa lemah di hadapan seseorang, maka jangan coba-coba menyembunyikan kelemahan kita dengan mengatakan hal-hal di luar jangkauan kita hanya dengan maksud menunjukkan bahwa kita memiliki kelebihan. Sebaliknya, yang harus kita lakukan hanyalah menunjukkan dengan tulus kelemahan kita kepada orang yang kita ajak bicara. Selain itu, perlihatkan juga pada lawan bicara kita bahwa ia memiliki kualitas unggul (dari pada kita) sehingga amat wajar kalau kita mencuri pengetahuan dari dia. Intinya, tempatkan diri kita di bawah lawan bicara kita, maka otomatis ilmu dari orang tersebut akan mengalir kepada kita dengan lancar. Bukankah air hanya akan mengalir ke tempat yang lebih rendah?

Nah, strategi yang demikian itu yang saya sebut berlindung di balik kelemahan diri sendiri. Saya menyebutnya demikian karena dengan jujur akan perasaan kita mengenai kelebihan yang dimiliki lawan bicara kita dan atas kelemahan kita sendiri justru akan melindungi kita dari perasaan malu yang mungkin saja kita rasakan jika kita berusaha menutupi kelemahan kita tersebut dengan retorika muluk-muluk tapi penuh omong kosong. Maka, bagi saya jujur mengenai perasaan kita, meskipun kejujuran itu juga bukan berarti menunjukkan yang sebenarnya, adalah jauh lebih baik dari pada menutupi perasaan kita dengan kebohongan-kebohongan.

Blogged with the Flock Browser

16 Maret 2008

Ternyata, Pikiran Berpengaruh pada Perasaan Lho... (Part II: Getting more and more serious)

Ilustrasi kedua

Anda sedang berkendaraan menuju rumah seorang teman yang sudah lama tidak berjumpa. Dengan penuh semangat Anda mengendarai mobil Anda yang masih tergolong baru. Di tengah perjalanan, tiba-tiba beberapa orang menghentikan mobil dan meminta Anda untuk untuk turun dari mobil. Anda pun menuruti permintaan mereka. Setelah Anda turun dari mobil, salah satu dari orang-orang itu mengatakan bahwa sebentar lagi Anda akan melintasi sebuah jembatan. Dengan nada sangat serius orang itu meminta Anda untuk mencari jalan lain. Dia mengatakan bahwa jembatan itu sudah tua dan tidak kuat lagi menahan beban seberat mobil Anda. Katanya jembatan itu hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki saja. Dengan berjalan kaki pun jembatan itu masih terasa bergetar. Sehingga kalau mobil Anda melintas di atas jembatan itu, maka jembatan itu pasti akan runtuh.

Mendengar penjelasan orang itu ada menjadi penasaran. Bukannya berbalik dan mencari jalur lain, Anda malah memacu kendaran Anda tetap pada jalur semula. Benar saja, tidak lama setelah itu Anda melihat sebuah jembatan di depan Anda. Dilihat dari keadaannya jembatan itu memenag tampak sudah tua dan rapuh. Anda juga tidak melihat satu kendaraan pun yang sedang melintasi jembatan itu. Yang Anda lihat sedang menggunakan jembatan itu hanyalah satu orang. Orang itu berjalan di atas jembatan sambil berpegangan pada pagar. Melihat itu, Anda menjadi teringat pada penjelasan orang-orang yang tadi menghentikan Anda. Anda menjadi takut untuk melintasi jembatan itu. Anda kehilangan keberanian karena membayangkan Anda dan kendaraan Anda akan terjatuh ke sungai bersama runtuhnya jembatan.

Maka Anda pun berniat berbalik dan hendak meninggalkan tempat itu untuk mencari jalur lain. Pada saat Anda hendak menyalakan mesin, tiba-tiba dari arah yang berlawanan terlihat sebuah truk besar yang akan melintasi jembatan. Karena mencemaskan nasib orang-orang di dalam truk itu, Anda bergegas keluar dari mobil dan bermaksud memperingatkan sopir truk itu, namun, belum juga Anda berteriak, truk itu sudah berada di atas jembatan. Karena ketakutan Anda memejamkan mata dan membayangkan akan mendengar suara keras runtuhnya jembatan itu bersama dengan truk tersebut. Namun, setelah beberapa saat suara yang Anda bayangkan itu tidak juga terdengar. Sebaliknya, perlahan-lahan suara mesin truk itu melintasi Anda.

Melihat kenyataan bahwa jembatan itu masih baik-baik saja setelah dilewati truk, ketakutan Anda untuk melintasi jembatan itu sirna. Anda pun menjadi tersadar bahwa orang-orang tadi hanya bermaksud menakut-nakuti Anda. Maka tanpa ada rasa takut sedikit pun Anda mulai menjalankan kendaraan Anda dan melintasi jembatan itu. Satu jam kemudian, Anda telah berada di rumah teman Anda dengan selamat.

Kenapa Anda menjadi takut untuk melintasi jembatan itu setelah ada orang yang memberi tahu bahwa jembatan itu rapuh? Padahal, ketika truk melintasinya pun jembatan itu masih berdiri tegak. Seperti pada ilustrasi pertama, perasaan takut itu muncul karena Anda memikirkan hal-hal mengerikan yang kenyataannya tidak Anda alami. Terbukti ketika Anda yakin bahwa hal-hal mengerikan itu tidak akan terjadi Anda berani melintasi jembatan itu.

Dari dua ilustrasi di atas, bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa pikiran sangat mempengaruhi perasaan. Pikiran positif akan membangkitkan perasaan-perasaan yang positif juga, seperti bahagia, berani, percaya diri, dll. Sebaliknya pikiran negatif juga akan melahirkan perasaan-perasaan yang negatif pula, seperti perasaan takut, sedih, minder, dll. Sehingga apabila Anda ngin menjadi orang yang memiliki perasaan positif maka selalu lah berpikir positif. Namun, jika saat ini Anda masih memendam perasaan negatif, maka ubahlah perasaan itu menjadi positif dengan cara berpikir positif. SELAMAT MENCOBA (The end)

Ternyata, Pikiran Berpengaruh pada Perasaan Lho... (Part I: Getting more serious)

Mungkin belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana hubungan yang sebenarnya antara pikiran dan perasaan. Akan tetapi secara teoritis bisa dihipotesiskan bahwa keduanya saling terkait. Keduanya saling mempengaruhi. Tidak benar apabila ada pernyataan bahwa keduanya terpisah dan sama sekali tidak memiliki kaitan.

Tentu saja Anda berhak memendam keraguan atas hipotesis tersebut. Apalagi, sekali lagi, memang belum ada penelitian yang mendukungnya. Akan tetapi setelah membaca ilustrasi yang akan saya kemukakan, Andapun tidak perlu merasa malu untuk membuang jauh-jauh keraguan Anda.

Ilustrasi Pertama

Anda sedang berada di rumah seorang ahli jiwa untuk mengkonsultasikan masalah kejiwaan yang Anda hadapi. Kepada psikolog itu Anda mengatakan bahwa diri Anda selalu merasa takut untuk pergi keluar kota. Anda menjelaskan bahwa tiap kali Anda diajak pergi keluar kota, di dalam pikiran Anda selalau terbayang pada sekelompok orang berwajah sangar yang siap menghadang Anda dan tidak segan-segan membunuh Anda apabila permintaan mereka tidak Anda penuhi. Karena perasaan takut itulah Anda tidak pernah pergi keluar kota.

Mendengar penjelasan Anda psikolog tersebut mengajak Anda ke sebuah ruang di belakang tempat kerjanya. Di dalam ruangan itu terdapat selembar kayu yang tidak terlalu tipis dan juga tidak begitu tebal. Dengan tersenyum psikolog itu mempersilahkan Anda untuk berdiri di atas kayu itu. Bukan hanya itu, dia juga menyuruh Anda untuk melompat-lompat di atasnya. Setelah itu, Anda disuruhnya untuk menjauh dari lembaran kayu itu. Tanpa perasaan apa-apa Andapun mengikuti segala instruksinya.

Setelah Anda berada agak jauh dari kayu itu, psikolog itu menjelaskan pada Anda bahwa sebenarnya kayu yang baru Anda injak adalah sebuah penutup. Di bawah kayu itu terdapat sumur tua yang amat dalam yang di dinding-dindingnya dipenuhi batu-batu runcing. Sambil memberi penjelasan psikolog itu menggeser kayu. Maka Anda pun melihat bahwa apa yang tadi dijelaskan benar adanya. Mengetahui hal tersebut Anda pun menggigil ketakutan. Anda membayangkan apa jadinya seandainya tadi saat Anda berdiri dan melompat-lompat kayu itu patah. Maka Anda pasti sangat ketakutan dan tidak akan berani lagi disuruh berdiri di atas kayu itu apalagi diminta untuk melompat-lompat di atasnya.

Kenapa sekarang Anda ketakutan padahal sebelum psikolog itu memberi penjelasan Anda sedikit pun tidak merasa gentar? Semua itu karena pikiran Anda. Anda merasa ketakutan karena Anda memikirkan hal-hal mengerikan yang mungkin menimpa Anda apabila Anda berdiri di atas kayu itu. Kenyataannya, bahkan ketika Anda melompat-lompat di atasnya pun kayu itu tetap utuh dan Anda sama sekali tidak mengalami hal-hal yang mengerikan.

Begitu pula sebenarnya yang selama ini menimpa Anda sehingga Anda tidak berani ke luar kota. Karena pikiran Anda selalu membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan menimpa Anda ketika berada di perjalanan, maka perasaan Anda pun menjadi ketakutan. Perasaan takut tak beralasan ini kemudian memaksa Anda untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut. Dan cara terbaik untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan itu adalah dengan tidak pergi ke luar kota. Padahal kalau saja Anda bisa memikirkan hal-hal yang menyenangkan yang mungkin akan Anda temui, bukannya hal-hal yang menakutkan, tentu Anda tidak perlu merasa takut untuk bepergian ke luar kota. (to be continued)

14 Maret 2008

Baik!? Kerjakan Sekarang (ssstt! Pencari Hikmah lagi serius)

Kalau anda merasa dunia ini adalah tempat yang damai, coba hidupkanlah TV anda dan lihatlah berita-berita kriminal, maka anda akan melihat bahwa masih banyak yang harus anda kerjakan. Ini bukan berarti bahwa apa yang anda sudah kerjakan tidak berguna. Ini menunjukkan bahwa anda memang tidak boleh berhenti dari usaha berbuat kebaikan. Sekali anda berhenti berbuat baik, maka angka kejahatan akan meningkat cepat.

Mungkin anda merasa bahwa apa yang anda lakukan, dalam hal ini berbuat kebajikan, tidak ada nilainya. Mungkin anda menganggap bahwa memberi uang receh kepada pengemis yang duduk di pinggir jalan tidak akan bisa mengubah dunia. Mungkin pula anda berpikir bahwa membuang kulit pisang di sembarang tempat tidak akan membuat dunia makin kacau. Anda mungkin benar. Tapi bisa jadi anda salah.

Bayangkan apabila pengemis yang kita beri uang receh tiba-tiba masuk angin. Sedangkan ia tidak punya cukup uang untuk membeli obat masuk angin. Padahal kalau dibiarkan berlarut-larut masuk angin yang diderita oleh pengemis itu bisa semakin parah bahkan bisa membunuhnya. Dalam hal ini pengemis itu tentu sangat membutuhkan uang recehan untuk kerokan. Dengan kerokan ia akan kembali sehat seperti sedia kala. Maka bisa dilihat bahwa apa yang anda lakukan telah menyelamatkan satu nyawa dari kematian.

Bayangkan juga, apabila ada seorang pemarah yang melewati tempat di mana anda membuang kulit pisang. Kemudian tanpa sengaja ia menginjak kulit pisang tersebut dan terjatuh. Dia tentu akan sangat marah dan bisa jadi ia akan melampiaskan kemarahannya kepada siapapun yang ia temui. Bayangkan jika setelah itu ada seorang petani yang juga pemarah pulang dari sawah dengan membawa cangkul dan sabit dan bertemu orang yang baru terpeleset itu. Si pemarah tentu akan melampiaskan kemarahannya pada petani itu. Dan karena petani tersebut membawa sabit bisa jadi ia membacokannya kepada si pemarah. Maka satu nyawa bisa melayang hanya gara-gara anda membuang kulit pisang sembarangan.

Jadi, hal sekecil apapun yang kita lakukan akan berpengaruh kepada dunia secara keseluruhan. Apabila yang kita lakukan adalah hal baik, maka hal baik itu akan dinikmati oleh seluruh dunia. Sebaliknya jika hal buruk yang kita kerjakan, maka hal buruk itu akan dirasakan oleh seluruh umat manusia.

12 Maret 2008

Masih Tentang Rhoma Irama dan Saya (mas Andrea ada acara)

Halo-halo-halo, jumpa lagi dengan saya the wisdom seeker (he..he..he.., jujur ini ikutan tetangga sebelah saya. Tapi, bagus juga ya. Oke lah, kalo gitu saya akan menggunakan nama ini sebagai alternative nama Indonesia saya). Dan bersama saya anda tentu akan dibawa menyusuri lorong-lorong gelap untuk menemukan sedikit cahaya (ternyata saya bisa puitis juga ya…). Awas, kalau tidak hati-hati di lorong-lorong ini bukannya dapat cahaya bisa jadi anda malah tersesat.

Baiklah, topik hikmah kali ini masih tidak beranjak jauh dari posting kemarin. Tentang penulis tetralogi Laskar Pelangi? Bukan. Bukan tentang si Ikal. Sekarang ini saya tidak ingin mengganggu ketenangan mas Andrea. Dia lagi banyak job. Jadi, biarlah mas Andrea menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Semoga juga kantongnya makin tebal sehingga mimpinya untuk tinggal di desa tertinggi di dunia bisa segera terwujud. Anda mau kan berdoa untuk dia? Well, kalau demikian pada hitungan ketiga kita ucapkan amin bersama-sama. Satu… dua…tiga… AMIEN!

Nah, kali ini saya akan membicarakan tokoh satunya dari posting kemarin. Siapa lagi kalau bukan Bang Haji Rhoma Irama. Mumpung beliau lagi sepi tontonan dan popularitasnya makin menurun karena usianya yang memang sudah tidak muda serta gara-gara Inul dan mantan istri barunya (betul lho, popularitas Bang Haji mulai redup setelah kasus goyang ngebor Inul Daratista dulu itu dan diperparah sama kasus yang di Indonesia ini masih sangat rawan, POLIGAMI, apalagi yang sembunyi-sembunyi dan terkuak, oleh infotainment lagi). Namun, meskipun demikian, walaupun begitu, however (pilih salah satu saja ya...), bagi saya bang Haji tetaplah seorang idola. Kenapa demikian? Jawaban singkat saya: karena kualitasnya. Maka biar anda tidak penasaran, akan segera saya ulas masalah bang Haji ini setelah jeda baris berikut ini. Jangan ke mana-mana. Tetaplah di tempat duduk anda karena sebentar lagi anda akan melihat sisi lain dari this one and only King of Dangdut.

All right, biar saya mulai. Jujur saja, jika mendengar nama Rhoma Irama apa yang terlintas di benak anda pada satu detik pertama? Dangdut! Masuk akal. Soneta! Sangat bisa diterima. Inul Daratista! Wah yang ini pasti baru kenal sama bang Haji nih. Tapi nggak papa. Yang penting masih ada hubungannya dengan Rhoma Irama. Yang terlintas dalam benak saya juga seperti itu. Dangdut, Soneta, dan, yang ini sebenarnya dipopulerkan bukan oleh bang Haji tapi oleh para penirunya, kata “Terlalu!”. Yang jelas tidak pernah terlintas nama si ratu ngebor, Inul Daratista (I'm so sorry Mbak..)

Itu baru pada satu detik pertama. Kalau saya membiarkan angan-angan saya melayang entah ke mana-mana selama lebih dari semenit maka banyak hal lain yang timbul dalam memori saya saat nama bang Haji disebut. Pacar, Piano, Setan, Siksa Kubur, Tukang Adu Domba, Keluarga Berencana, burung Garuda, Indonesia, Orang Buta, Pengemis, Pengamen, dan banyak lagi yang lainnya. Luar biasa kan? Satu nama bisa memiliki begitu banyak asosiasi. Dalam hal ini anda harus mengakui Bang Haji tidak tertandingi oleh musisi Indonesia lainnya, apalagi oleh musisi dangdut masa kini. (Sori mbak Dewi Perssik. Maaf, mas Syaiful Jamil)

Kalau anda bertanya kenapa bisa demikian. Jawaban saya sangat simple: karya Bang Haji membahas wilayah dan aspek kehidupan yang begitu luas. Lirik-lirik yang dia ciptakan bisa menggambarkan berbagai masalah kehidupan dengan kedalaman pemahaman yang tidak perlu diragukan. Dan, ini yang sangat penting, semua lirik-lirik itu begitu dikenal luas oleh masyarakat Indonesia dan melegenda. Untuk yang terakhir ini, keberuntungan mungkin memainkan peranan sangat penting. Akan tetapi untuk yang pertama, keberagaman tema serta kedalaman muatan lirik lagu, keberuntungan tidak berlaku. Dibutuhkan seorang berjiwa sekaligus seniman, budayawan, santri, motivator, dan musisi yang benar-benar ulung untuk bisa menghasilkan karya seperti itu. Maka, mendengarkan lagu-lagu bang Haji saya bisa senantiasa melihat sosok yang berbeda. Kadang menjadi santri, kadang budayawan, dan kadang motivator. Adapun jiwa seniman dan musisi bang Haji bisa selalu saya rasakan di tiap dendang lagunya.

Di dalam lagu Istri Solehah, misalnya, jiwa santri bang Haji sedang memegang kendali. Maka perenungan-perenungan religius begitu terasa di tiap liriknya. Saya jamin kalau anda mendengarkan lagu ini secara seksama anda akan sampai pada persetujuan bahwa istri yang akan membuat bahagia tidak harus berparas cantik. Begitupun suami tidak harus berwajah tampan. Yang paling penting adalah baik tidaknya hati. Tentu saja akan baik lagi kalau sudah hatinya baik, parasnya cantik atau tampak, pintar, kaya, dan keturunan orang terpandang. Pokoknya ideal (sekarang ada nggak ya yang seperti ini…?)

Contoh lain, dalam lagu Begadang tampak nyata bahwa bang Haji berjiwa budayawan. Dia bisa memotret fenomena yang terjadi di lingkungannya secara tepat. Dia bisa menggambarkan kebiasaan begadang dan efeknya pada kehidupan pribadi seseorang. Sebutan apalagi yang bisa diberikan pada orang yang bisa melakukan hal semacam itu kalau tidak budayawan.

Nah, oleh bang Haji dua lagu itu bisa dibuat dalam komposisi nada yang begitu enak didengar. Lagu istri sholeha yang terkesan menasehati bisa dengan mudah masuk ke sanubari lantaran musiknya (juga jangan lupa suara penyanyinya yang mendayu-dayu) begitu indahnya terdengar di telinga. Demikian juga begadang. Lagu yang sebenarnya bertema remeh temeh ini bisa menarik hati untuk menyimaknya karena kepiawaian bang haji dalam menyusun nada.

Tentu saja dua contoh belumlah cukup. Tapi biarlah akan saya biarkan anda mencari dan mendengarkan lagu bang haji yang lainnya untuk kemudian menganalisa kualitas apakah yang dominan pada diri bang Haji saat menciptakan lagu tersebut: Budayawan kah, Sastrawan kah, Sufi kah, atau kah-kah yang lainnya.

Akhir kata, dengan kualitas semacam itu apakah saya harus malu mengakui bahwa Bang Haji Rhoma Irama adalah salah satu tokoh idola saya?

08 Maret 2008

Andrea Hirata, Rhoma Irama, dan Saya

(Dari kiri ke kanan): Andrea Hirata, Rhoma Irama, dan Saya

Baru-baru ini saya mengkhatamkan tiga buku dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Bagi anda yang merasa penggemar novel Laskar Pelangi saya yakin anda tahu judul ketiga buku ini. Ya. Betul! Judulnya adalah Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor. Tepuk tangan buat anda semua. Wah, anda memang benar-benar penggemar Laskar Pelangi.

Nah, karena anda tahu judul ketiga buku yang sudah saya baca tentu anda juga tahu judul buku terakhir dari tetralogi ini yang belum saya miliki. Benar. Sekali lagi anda bisa menjawab dengan benar. Buku terakhir ini berjudul Maryamah Karpov. Menurut informasi yang saya dapat dari teliksandi saya di berbagai toko buku, novel terakhir ini akan terbit dan dilempar ke pasar bulan April mendatang.

Jadi, para fans Andrea Hirata, Anda harus bersiap-siap berebut untuk mendapatkan buku ini. Kalau perlu anda boleh kok menunggu di depan toko buku satu hari sebelum buku ini resmi dijual di toko buku. Atau, kalau anda masih khawatir tidak akan kebagian, anda boleh juga mendirikan tenda di depan toko buku-toko buku dua atau tiga hari sebelumnya. Bahkan, satu minggu sebelumnya juga nggak papa. Tapi kalau saya, saya tidak akan melakukan itu. meskipun saya termasuk penggemar mas Andrea (sok akrab…), saya tidak akan melakukan tindakan ‘gila’ semacam itu.

Kembali ke fokus hikmah kali ini, setelah membaca ketiga buku mas Andrea ini saya menemukan satu kesamaan antara dia dengan saya. Kalau anda menebak bahwa kesamaan saya dengan mas Andrea adalah sama-sama lulusan Sorbone University maka anda salah besar. Jika anda mengira bahwa saya dan mas Andrea sama-sama peraih beasiswa Uni Eropa anda juga masih salah besar.

He… he…he.., baiklah, sebenarnya kesamaan saya dengan mas Andrea adalah kami sama-sama penggemar Bang Haji Rhoma Irama. Anda ingat kan bahwa di ketiga buku tersebut nama Bang Haji selalu disebut-sebut. Di novel Laskar Pelangi, saat mas Andrea menggambarkan keadaan sekolahnya, anda tentu masih ingat, siapa artis dangdut yang disebut? Rhoma Irama di dalam poster Hujan Duit. Terus, di novel Sang Pemimpi juga tidak lupa disebut nama Bang Haji. Anda tentu tidak lupa bahwa di kamarnya Ikal memajang poster Bang Haji Rhoma Irama sementara Arai menggantungkan gambar Jim Morrison dan Jimbron menempelkan gambar-gambar kuda. Sedangkan di novel Edensor mas Andrea lagi-lagi menyebut nama Bang Haji. Dan menurut saya kali dia beanr-benar keterlaluan. Ah, bukan keterlaluan. Maksud saya kali ini dia benar-benar menunjukkan kekaguman pada si raja dangdut ini. Betapa tidak? Di novel ini ia menyebut nama Bang Haji dengan tidak main-main. Ya, dia membandingkan Bang Haji dengan ekonom klasik Adam Smith. Gilaaaa…..

Maka, membaca ketiga novel itu saya senyum-senyum sendiri. Bukan hanya karena saya bangga memiliki kesamaan dengan mas Andrea sebagai penggemar Rhoma Irama. Lebih dari itu, saya merasa geli dengan sikap orang-orang yang baru pulang dari luar negeri. Kebanyakan mereka sudah lupa dengan kebudayaan sendiri. Gaya hidup mereka berubah drastis. Tidak jarang, sekembali dari luar negeri mereka memandang sebelah mata tradisi ibu pertiwi, termasuk musiknya. Maka, karawitan, wayang, atau ketoprak tidak lagi mereka apresiasi. Padahal, pada saat bersamaan orang-orang bule sedang gencar-gencarnya mempelajari semua itu dan dengan bangga membawa semua itu ke negeri mereka sendiri-sendiri.

Untuk itu, saya sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Andrea Hirata. Bagi saya, menyebut nama Rhoma Irama di dalam novel anda dan menganggapnya idola merupakan bukti nyata bahwa Anda bukan kacang yang lupa akan kulitnya.

07 Maret 2008

Mati Syahid ala Hollywood

Kemarin saya nonton (lagi) film Braveheart karya Mel Gibson dimana ia juga main sebagai pemeran utama. Ah, ada satu perasaan asyik saat menonton adegan demi adegan film ini. Film yang mengambil setting tahun 1300-an lebih tepatnya tahun 1280 di Skotlandia ini begitu enak ditonton hingga tak terasa tiga jam berlalu begitu saja. Sungguh tidak banyak film yang mampu menyihir saya hingga mau duduk berlama-lama dan menunggu akhir cerita.

Tentu bukan saya saja yang merasakan keasyikan yang diberikan oleh film ini. Saya yakin di luar sana banyak orang lain, yang lebih mengerti dan mencintai film ketimbang saya, yang merasakan betapa film ini dibuat dengan amat serius. Mel Gibson mampu memberi sentuhan di tiap detail hingga adegan demi adegan begitu sambung menyambung dan menggantungkan jawaban di endingya. Tidak perlu saya katakan lagi, karena anda sekalian pasti sudah tahu, bahwa suatu cerita yang mampu membuat penonton penasaran mengenai endingnya akan mampu membuat penonton duduk manis memelototi hingga akhir. Dan memang demikian yang terjadi pada film ini.

Tidak hanya ceritanya, faktor-lainnya juga memberi kontribusi film ini dalam menyihir penonton. Perpaduan musik latar, efek visual dan kelihaian aktor dan aktrisnya memainkan peran telah menjadikan film ini sebuah maha karya. Lihat saja, misalnya, saat William Wallace berbicara pada utusan Longshank yang juga sekaligus menantunya, Princess Isabelle. Betapa dalam adegan ini Mel Gibson mampu menunjukkan emosi yang ditahannya sekaligus mengesankan betapa ia menghormati wanita. Bukan hanya kemampuan acting Mel Gibson saja yang patut diacungi jempol. Peran lawan mainnya dalam adegan ini juga layak mendapat pujian. Bagaimanapun tidaklah mudah memerankan seorang wanita yang dalam hati memuja orang yang ada di hadapannya (diceritakan Princess Isabelle mengagumi William Wallace setelah mendengar bahwa pemicu awal pemberontakannya adalah kematian istrinya, Murron, di tangan seorang komandan Inggris) akan tetapi di pihak lain ia sendiri merupakan utusan dari musuh orang tersebut. Emosi yang dibawa dalam adegan ini begitu kompleks hingga saya yakin tidak sembarang aktor atau aktris bisa melakukannya.

Dan salah satu kekaguman saya pada film ini adalah kemampuannya memvisualisasikan apa yang disebut dengan “kematian indah” dan “mati merana”. Selama ini saya sering bertanya mengenai perbedaan rasanya mati antara orang yang hidupnya dipenuhi kejahatan dan mereka yang hidup lurus dan memperjuangkan kebenaran. Nah, film ini berhasil menggambarkannya. Kematian yang indah dirasakan oleh William Walace di akhir hidupnya. Meski meregang nyawa di penyiksaan dengan cara dipenggal, toh William Wallace bisa merasakan mati dengan tenang dan bahkan mati dengan menyenangkan. Betapa tidak? Saat tubuh disayat-sayat oleh algojo, yang ada di matanya hanyalah senyum sang istri yang telah lama mati yang amat dirindukannya. Maka ketika kepala dipenggal, senyuman terlihat tersungging di bibir William Wallace. Dan itulah menurut saya yang disebut dengan kematian yang indah, mati syahid ala Hollywood.

Sebaliknya, “kematian merana” dirasakan oleh Longshank, raja Inggris yang menjajah Skotlandia dengan kejam dan yang diperangi William Wallace. Tidak seperti William Wallace, Longshank memang mati di atas peraduannya yang empuk dan indah. Akan tetapi, sebelum ajal menjemputnya ia terkena stroke sehingga membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Ia bahkan tidak bisa berkata-kata. Dan di sinilah letak gambaran betapa menyakitkannya kematian yang harus ia rasakan. Dalam keadaan tidak bisa berbuat apa-apa itu, menantunya, Princess Isabelle, yang karena satu dan lain hal akan menjadi penerus kekuasaanya membisikinya kata-kata yang teramat sangat menyakitkan, yaitu bahwa dia mencintai William Wallace dan akan menganggapnya sebagai pahlawan kelak saat ia berkuasa. Coba anda bayangkan betapa terpukulnya perasaan Longshank mengetahui bahwa menantuanya amat mencintai musuh besarnya dan akan menganggap musuh besarnya itu sebagai pahlawan. Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah bahwa sang menantu akan melanjutkan kekuasaannya. Dan yang lebih menyakitkan lagi ia tidak bsia berbuat apa-apa. Yach, kira-kira sakitnya seperti jika anda punya teman yang anda ajari menulis dan kemudian si teman itu selalu menulis di surat kabar dan selalu menjelek-jelekkan anda sedangkan anda tidak bisa membalas tulisan teman anda itu (he..he..he, nggak nyambung ya….). Pada saat seperti itulah Longshank mati. Mati merana kan?

Begitulah, film ini memang patut saya acungi empat jempol sekaligus. Tapi, tentunya saya tidak bisa menggambarkan semua keindahan film tersebut dalam tulisan ini. Yang baru saya gambarkan di atas barus seperseribu persennya. Untuk itulah sebaiknya anda menontonnya sendiri. Pinjamlah VCD di penyewaan (ingat jangan beli bajakan) dan nikmatilah film ini bersama orang-orang yang anda sayangi. Saya yakin jika anda menontonnya bersama orang yang anda sayangi maka di akhir film hubungan anda akan semakin mesra sebab film ini juga mengajarkan betapa berartinya orang yang kita sayangi bagi hidup kita. Selamat menikmati.

Lho, lho, lho! Terus hikmahnya apa? Ah, coba anda tebak sendiri…. :D

06 Maret 2008

Saya Sering Jadi Idola Indonesia

Oke guys, kini saatnya saya mengais-ngais hikmah lain dari hidup saya. Dan yang satu ini tentu akan membuat anda semua terpana, terpukau, terkagum-kagum, atau mungkin malah mengirikan saya. Ya, seperti judul yang saya pilih pada posting kali ini, saya memang pernah, tepatnya sering, lebih tepatnya lagi sering sekali, lebih tepatnya sangat sering sekali, menjadi idola dan menjadi pusat perhatian. Atau istilah ANTV nya, saya ini pernah menjadi seleb juga. Awas, jangan salah paham. Seleb yang ini kepanjangan dari selebritis bukannya selebor. He…..

Eh, ngomong-ngomong masalah selebritis, saya jadi ingat beberapa ustadz kita yang sering tampil di TV yang lama kelamaan jadi mirip selebritis. Tiap kali melihat mereka saya sering bertanya dalam hati “kok bisa ya seorang ustadz menjadi bintang iklan?” atau “kok mau ya ustadz mengajak pengguna handphone untuk ikut program sms berlangganan?” (Sori pak ustadz, bukannya ikut-ikutan program seperti itu jelek. Menurut saya yang baru belajar mikir ini, citra keustadzan bapak-bapak dan mas-mas yang dipertaruhkan. Ya, lagi-lagi menurut saya, lebih baik gak usah ikut-ikutan program sms berlangganan deh… udah cukup ngasih tausiyah lewat TV atau lewat buku aja… lebih gampang juga langsung mengena).

Walah, walah, kok jadi ngomongin ustadz segala saya ini. Oke stop, mari kita kembali ke topik semula. Biar tidak dimarahi mbah google.

Ya, saya sudah pernah dan bahkan sangat sering menjadi selebritis. Saat dulu dangdut masih merajai dunia permusikan Indonesia dan melambungkan nama Bang Raden Haji Oma Irama, saya pernah merasakan hidup sebagai superstar dangdut. Benar, saya pernah merasakan kehidupan sebagai punggawa Om Soneta ini. Saya pernah merasakan disorot kamera dan ditonton oleh jutaan pasang mata dari seantero persada nusantara Indonesia raya tercinta ini. Dan karena dulu OM Soneta yang digawangi oleh Bang Haji juga pernah disejajarkan sama band Rolling Stone, saya juga pernah tahu rasanya menjadi satu-satunya selebritis Indonesia yang sering diundang untuk tampil di luar negeri.

Pada saat yang sama saya juga pernah menjadi Iwan Fals, legenda hidup musik balada Indonesia. Sungguh, saya pernah menyanyikan lagu-lagu legendaris bang Iwan di stasiun televisi dan semua orang gegap gempita mengiringi suara saya. Saat satu lagu yang saya bawakan selesai, ternyata mereka tidak puas dan minta saya untuk menyanyikan lagu-lagu saya yang lainnya. Dan, alamak! ini terus menerus terjadi. Saya tidak bisa berhenti menyanyi karena penonton tidak memperbolehkan saya selesai. Akibatnya sehabis pertunjukan saya harus masuk rumah sakit karena radang tenggorokan saya kumat dan sangat akut. Tapi saya tetap bangga. Betapa banyak warga Negara Indonesia ini yang mencintai saya dan selalu menunggu-nunggu penampilan saya.

Terus, ketika panggung musik Indonesia dibanjiri oleh lagu-lagu jiran, Malaysia, saya juga pernah menjadi penyanyi Malaysia terpopuler saat itu. Ya, saya merasakan kehidupan Salim, vokalis grup Iklim Malaysia atau Amy yang notabene frontmannya grup Search. Waktu itu saya sangat bangga karena lagu-lagu saya setiap hari di putar di radio-radio swasta dan klipnya ditayangkan di TVRI setiap minggunya.

Selanjutnya, saat lagu-lagu jiran tergeser oleh lagu-lagu barat berbahasa Inggris yang melejitkan boysband kayak Boyzone dan Backstreet Boys, saya juga pernah menjadi bagian dari cowok-cowok ganteng ini. Saya ingat ketika dulu saya tour di Indonesia, tepatnya di Jakarta Convention Center Hall, banyak sekali kaum kartini negeri tropis ini yang minta foto bersama dan menyodorkan kaus atau bukunya untuk saya tanda tangani. Yang segolongan dengan Adam sih waktu itu tidak saya pedulikan. Mereka mau suka atau iri, saya tak peduli. Yang penting penampilan saya bisa menggegerkan kaum hawa negeri yang katanya multikultur dan multireligi ini.

Setelah itu, musisi-musisi muda Indonesia satu persatu bangkit meramaikan panggung musik tanah air. Penyanyi solo dan band-band berbagai aliran musik sedikit demi sedikit merebut hati penikmat musik nusantara. Pada saat itu saya pernah menjadi Sigit Base Jam, Armand Gigi, Fatur Java Jive, dan Fadhli Padi. Masih saya ingat, saya juga sempat menjadi Nugie, Katon, dan juga Galang Rambu Anarki. Tapi, entah kenapa ketika itu saya tidak pernah menjadi Nike Ardila, Poppi Merkuri, atau Mayangsari.

Sekarang anda percaya kan, kalau saya sudah pernah, lebih tepatnya sering, lebih tepatnya lagi sering sekali, dan lebih tepatnya lagi sangat sering sekali menjadi selebriti? Jadi, anda juga harus percaya donk kalau saya sudah tahu rasanya hidup menjadi pusat perhatian di manapun saya berada.

Sayangnya, sesering-seringnya saya merasa menjadi pusat perhatian saya masih lebih sering merasakan hidup sebagai orang yang sama sekali tidak dikenal yang saking tidak dikenalnya tetangga sebelah pun ada yang tidak tahu siapa saya. Sesering-seringnya saya merasakan gaduhnya kaum hawa saat saya muncul di hadapan mereka, saya lebih sering merasakan mereka tak peduli dengan kehadiran saya. Dan sesering-seringnya saya merasakan mendapat perlakuan istimewa, saya masih sering merasakan diperlakukan apa adanya dan bahkan semena-mena.

Anehnya, saya lebih suka tidak menjadi perhatian, tidak dipedulikan, dan diperlakukan apa adanya atau bahkan semena-mena. Tahu kenapa? Karena itulah hidup saya yang sebenarnya. Itulah saat saya tidak berpura-pura menjadi orang lain. Itulah saat saya menjadi diri saya sendiri.

05 Maret 2008

Bukan Hilangnya Yang Kutangisi Hanya Caranya Yang Kusesali

Hari ini saya sedang kesal dengan sepeda motor saya. Bukan karena mogok. Bukan pula karena penampilannya jadi bobrok hingga mempermalukan saya di depan kolega. Tapi sepeda motor itu membuat saya harus merogoh uang tambahan yang tidak saya rencanakan sebelumnya.

Sebetulnya bukan uang yang harus saya keluarkan itu yang membuat hati dongkol. Karena jumlahnya memang kecil, meski saya tidak mengatakan sangat kecil karena kadang sejumlah itu sudah bisa menyelamatkan hidup saya. Tapi karena keluarnya uang itu dengan sebab dan cara yang sangat memukul.

He..he..he.., jangan khawatir, saya tidak dirampok kok. Mana ada perampok mau uang dalam jumlah kecil. Biasanya kan perampok maunya uang yang besar. Malah ada perampok yang hanya mau uang besaaaar sekali. Ya itu, si perampok negara. Perampok yang model gini ini kan ga mungkin tho mau uang dalam jumlah kecil dengan nominal di bawah seribu rupiah?

Uang saya itu juga tidak dicuri lho. Nasib sekali kalau ada pencuri uang sejumlah itu. Udah jumlahnya kecil, dosa pula. Tambah nasib lagi kalau pas melakukan aksinya itu si pencuri kepergok. Wah, pasti deh mukanya bakalan bopeng. Ih! Membayangkan uang saya yang tidak sampai seribu rupiah itu dicuri orang dan pencurinya kepergok terus dihajar ramai-ramai oleh massa sungguh membuat dada saya sesak. Ya, sesak karena mengingat sudah berapa banyak nyawa melayang hanya gara-gara jumlah harta yang tidak seberapa. Nyawa melayang hanya karena sandal rombeng. Juga yang mati karena sebatang rokok. Dan ngeri juga karena saya tidak bisa berbuat apa-apa melihat yang demikian itu… Dasar saya…

Dan yang jelas uang saya itu tidak jatuh. Dompet saya masih lumayan bagus dan saku celana saya tidak ada yang robek yang bisa menjadi jalan keluar uang itu untuk kabur dari kepemilikan saya. Dan ini dia pikiran buruk saya. Saya katakan pikiran buruk karena memang tidak baik. Bayangkan, saya berpikir lebih baik uang itu jatuh dan ditemukan oleh orang, dan akan lebih baik lagi jika yang menemukan itu orang yang hendak mati karena masuk angin akut yang untuk menyelamatkan nyawanya ia perlu uang receh. Ya, meskipun sama-sama lepas dari kepemilikan saya, cara ini lebih saya sukai dari pada cara yang benar-benar menimpa saya.

Jadi saya tidak dirampok, tidak jadi dicopet, dan uang saya tidak jatuh. Uang itu harus lepas dari saya hanya karena saat mengantar seorang saudara saya menghentikan sepeda motor di pinggir jalan yang diaku-aku sebagai lahan parkir. Bayangkan, saya sama sekali tidak meninggalkan sepeda. Maka dilihat dari sudut pandang manapun saya tidak bisa dikatakan memarkir sepeda kan? Dan lagi, saya melakukan itu, menghentikan sepeda motor, tepat di pinggir jalan raya di dekat sebuah kotak ATM. Di pinggir jalan raya! Tidak ada tanda apapun yang menunjukkan bahwa tempat itu adalah tempat parkir karena mana mungkin jalanan umum diaku-aku sebagai lahan parkir? Dan saat saya akan pergi dari tempat itu, si jukir sialan ‘menodong’ uang parkir pada saya. Coba beri tahu saya logika mana yang membenarkan tindakan si jukir ajaib ini.

Karena itu, saya marah, marah sekali. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Bukan lepasnya uang itu tetapi caranya yang menurut saya sangat dzalim yang membuat tensi darah saya meninggi. Sejak kapan seorang jukir bisa menarik biaya parkir padahal si empunya sepeda tidak parkir hanya berhenti sebentar dan itupun di pinggir jalan? Ah, sungguh saya tidak habis pikir.

Padahal, tadi pagi saya ketemu seorang pengemis tua. Dia menyodorkan tangan dengan menghiba saat bertemu dengan saya. Sungguh, ingin rasanya saya memberinya uang receh. Tapi karena sedang tergesa dan uang itu berada di dalam dompet dan dompet saya berada di dalam saku celana yang berkancing, saya tidak jadi memberi melakukan niat baik saya. Dan kini uang itu saya serahkan begitu saja pada seorang tukang parkir yang tidak melakukan apa-apa.

Ah, seandainya tadi saya mau meluangkan sedikit waktu untuk mengambil uang dan memberikannya kepada pengemis tua itu……

04 Maret 2008

Tentang Tukang Pukul

Pernah dengar istilah “tukang pukul”? pertama kali mendengar istilah tersebut, apa yang anda bayangkan? Pria berotot dengan bobot besar berperawakan seperti petinju dan bermuka sangar. Mungkin demikian kebanyakan orang membayangkan. Tapi apakah anda pernah berpikir bahwa bayangan seperti itu tidak selamanya benar? Ya, sekarang ini tukang pukul tidak lagi hanya menjadi pekerjaan orang-orang dengan ciri di atas. Banyak orang yang jauh dari penampilan di atas kini juga berprofesi sebagai tukang pukul.


Fenomena berubahnya perawakan tukang pukul itu tentu saja tidak terjadi dengan serta merta tanpa sebab musabab. Pergeseran ini lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan jaman dan berubahnya kebutuhan. Faktanya, syarat memiliki tubuh besar dan berotot untuk menjadi tukang pukul terjadi di masa-masa lalu ketika orang hanya bisa ditakut-takuti oleh hal semacam itu. Ketika orang-orang akan bergidik melihat orang dengan cirri tersebut, ketika itu pula para bos memilih orang semacam itu untuk menjadi pengawal atau tukang pukul. Kini, ketika jaman telah berubah dan rasa takut tidak lagi hanya dipengaruhi oleh muka sangar, cara bos-bos merekrut orang-orang untuk menjadi tukang pukulpun berubah.

Di era kebebasan dalam berbagai hal dan dalam berbagai makna telah mendorong semua orang untuk tidak lagi takut pada gertakan. Jika ada orang yang berusaha menakut-nakuti dengan ancaman, orang-orang masa kini tidak lagi khawatir. Toh ada pihak penegak hukum yang bisa dimintai pertolongan. Sehingga, cara kerja para tukang pukul masa lalu yang biasanya menakuti-nakuti orang dengan ancaman bisa jadi malah akan merugikan bos mereka sendiri. Untuk itu, para bos harus memiliki cara baru menakut-nakuti. Cara baru ini tidak boleh membahayakan posisi mereka dan tentu saja harus membuat korbannya ketakutan. Cara-cara seperti ini tidak bisa dilakukan oleh para tukang pukul yang hanya mengikuti perintah bos. Kini tukang pukul juga diharuskan memiliki pikiran cerdas. Fisik dan tampang bukan lagi yang utama. Yang lebih penting dari semua itu adalah kecerdasan. Karena itulah, fenomena perekrutan tukang pukulpun berubah. Toh, menakut-nakuti orang kini cukup dengan membawa senjata api. Tanpa ba-bi-bu, tunjukkan pistol anda, maka target anda akan ketakukan. Tampang sangar tidak lagi diharuskan.

Nah, jika kriteria untuk menjadi tukang pukul yang notabene merupakan pekerjaan kasar terendah pun bisa berubah karena perkembangan jaman, maka hal yang sama pasti terjadi di bidang lain. Guru yang baik di masa lalu, belum tentu dianggap sebagai seorang guru yang becus di masa kini. Demikian juga, siswa teladan di masa lalu juga tidak mesti dianggap siswa teladan di masa kini. Karena itu, jika kita ingin selamanya sesuai dengan jaman, jangan pernah berhenti belajar. Dari waktu ke waktu kita harus melihat perkembangan jaman. Teruslah upgrade ilmu biar tidak dianggap sebagai bagian dari masa lalu. Bukankah amat menyakitkan jika kita dianggap hanya sebagai bagian dari masa lalu?

03 Maret 2008

Kakak-kakak Saya Orang Bahagia

Saya selalu kagum dengan dua kakak saya. Bukan karena prestasi akademik ataupun karena keberhasilan ekonomi. Karena dua hal itu tidak mereka miliki. Secara akademik mereka tidak masuk kategori berprestasi karena pendidikan mereka memang terbatas. Dalam kehidupan ekonomi mereka juga biasa-biasa saja karena penghasilan yang mereka dapatkan sehari-hari tidak bisa dikatakan banyak.

Namun, di balik itu semua kakak-kakak saya memiliki sesuatu yang patut saya dan Anda cemburui. Jangan salah sangka. Yang saya cemburui bukan keberhasilannya mendapatkan istri cantik atau menjadi menantu orang kaya. Lagi-lagi, dalam dua hal inipun mereka biasa-biasa saja. Bahkan saya berani bilang bahwa istri saya lebih cantik dan mertua saya lebih kaya. Stop! Jangan berpikir saya matre. Saya tidak matre hanya bernasib baik He..he..he..

Kembali tentang kakak-kakak saya, dilihat dari sudut pandang manapun kakak-kakak saya adalah orang sederhana, bukan orang kaya bukan pula orang terpandang. Akan tetapi hidup mereka selalu bahagia. Tentu saja bagi Anda mungkin kata bahagia di sini memiliki banyak arti. Bagi saya, ukuran bahagia sederhana saja. Jika Anda bisa tidur nyenyak dan makan enak serta bisa tertawa saat orang lain melucu di depan Anda, maka bagi saya Anda termasuk orang yang bahagia.

Dan demikianlah kakak-kakak saya. Dengan kondisi hidup yang pas-pasan dan persoalan hidup yang saya yakin tidak kalah banyak dari pada persoalan hidup Anda dan saya, mereka setiap hari masih bisa tidur nyenyak meski dikerubuti nyamuk, makan enak dengan lauk seadanya, dan tertawa lepas saat menonton acara lawak. Sedangkan saya, seringkali susah memejamkan mata dan tak bisa tertawa saat lelucon di hadapan saya. Uh, kasian deh saya….

Karena ingin bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh kakak-kakak saya, maka saya amati kehidupan mereka. Setelah sekian lama, akhirnya saya temukan juga kunci kebahagiaan itu. Yang membuat saya kaget adalah bahwa kunci kebahagiaan mereka adalah hal yang sangat sederhana tapi tidak saya miliki. Ia adalah rasa cinta pada pekerjaan. Tidak percaya? Terserah Anda. Tapi ijinkan saya menjelaskan kenapa rasa cinta pada pekerjaan bisa membuat kakak-kakak saya senantiasa hidup dalam suasana bahagia.

Begini, pekerjaan kakak saya yang pertama adalah pedagang kaki lima. Dia jualan nasi goreng dan saudara-saudaranya seperti mie goreng dan mie rebus. Sedangkan profesi kakak saya yang kedua adalah penjahat, eh sori penjahit. Dua profesi ini memiliki satu kesamaan yakni kerja dan penghasilan mereka tidak menentu. Kadang satu hari pekerjaan banyak dan hasilnya lumayan, tapi kadang di lain waktu pekerjaan sepi dan uang yang didapat tidak seberapa.

Tentu Anda bisa membayangkan bagaimana hidup kakak-kakak saya. Tapi, jangan dulu membayangkan. Karena bisa jadi yang Anda bayangkan keliru. Apakah Anda membayangkan apa yang mendorong mereka untuk berprofesi demikian, pedagang kaki lima dan penjahit? Ah, sayang sekali kalau Anda tidak membayangkannya. Karena inilah sebetulnya yang membuat saya berani mengatakan bahwa cinta pada pekerjaan lah yang membuat kakak-kakak saya bahagia. Tapi, baiklah. Saya jelaskan. Yang mendorong mereka untuk memilih profesi ini adalah rasa cinta mereka pada masak dan menjahit. Kakak tertua suka masak, dan kakak saya yang lainnya suka menjahit.

Karena didorong oleh rasa cinta itulah mereka menjalani pekerjaan dengan gembira. Bagi kakak tertua, jika ada orang pesan nasi goreng dia akan membuat pesanan itu dengan senang hati, dan jika pembeli sedang sepi dia senang karena bisa istirahat. Begitu juga bagi kakak kedua, jika ada orang datang menjahitkan baju dia akan mengerjakannya dengan sepenuh hati dan jika tidak ada yang harus dijahitnya ia bisa juga bisa istirahat. Maka, bagi kedua kakak saya ini saat bekerja dan saat tidak bekerja sama-sama menyenangkan. Jadi wajar jika hidup mereka sehari-hari selalu dipenuhi kegembiraan. Bukankah saat ini banyak orang yang tidak tenang hidupnya karena dikejar-kejar pekerjaan? Bagi orang-orang semacam ini (termasuk saya dan Anda) waktu bekerja adalah waktu yang penuh tekanan dan waktu berkumpul dengan keluarga belum tentu menjadi saat yang menyenangkan. Bagaimana bisa menyenangkan jika ketika berkumpul dengan keluarga pun kita masih harus mengingat-ingat beban pekerjaan yang belum kita selesaikan.

Nah, untuk satu hal ini, saya berniat mengikuti jejak kakak-kakak saya. Saya akan berusaha mencintai pekerjaan saya saat ini. Tapi, kalau tetap saja saya tidak bisa mencintainya maka saya akan mencari pekerjaan lain yang memang saya sukai. Bagaimana dengan Anda?